Mohon tunggu...
Kadek Yogiarta
Kadek Yogiarta Mohon Tunggu... Bekerja Sebagai ASN Pada Kanwil Kemenag Sulawesi Tenggara

Pribadi Sederhana, Punya Keinginan Untuk Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kwitansi Kosong, Hati Tidak Bisa Bohong

25 September 2025   11:25 Diperbarui: 25 September 2025   11:25 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagai Rohaniwan  (Sumber: Dok. Pribadi)

Suatu hari saya ditugaskan oleh pimpinan menghadiri acara wisuda di salah satu kampus kesehatan swasta di Kota Kendari. Atas rekomendasi pimpinan, saya bertugas sebagai rohaniwan Hindu bersama dua rekan rohaniwan lain, dari Agama Islam dan Kristen. Rohaniwan Islam kebetulan sudah saya kenal karena satu kantor, sedangkan yang Kristen baru saya ketahui sebagai pendeta sekaligus pengurus Sinode.
Sehari sebelumnya panitia sudah menghubungi saya untuk mengonfirmasi kehadiran dan lokasi acara. Setibanya di kampus, hujan deras menyambut kedatangan kami. Dari ruang tunggu, saya sempat berbincang dengan salah satu Ketua DPRD asal saya. Beliau mengenali saya sebagai warga dari komunitas yang sama dan percakapan kami pun mengalir hangat. Salah satu topik yang muncul adalah soal sengketa lahan, yang menurut beliau sudah diselesaikan dengan baik melalui fasilitasi pemerintah daerah bersama Forkopimda. Dari keterangannya, saya meyakini persoalan itu memang telah tuntas dan berharap semoga di kemudian hari tidak ada lagi persoalan serupa. Acara wisuda dimulai dengan khidmat, kami bertiga, para rohaniwan lintas agama, ikut berjalan dalam barisan senat, kemudian menjalankan tugas mendampingi penyumpahan sesuai agama masing-masing. Prosesi berlangsung tertib dan selesai sekitar pukul 13.00. Setelah berganti pakaian dari busana rohaniwan, kami dipersilakan menikmati jamuan makan siang.

Di sinilah satu pengalaman kecil membuat hati saya terusik, seorang panitia yang saya ketahui dari bidang keuangan, datang membawa kwitansi. Beliau meminta kami menandatanganinya, tetapi yang membuat hati bergumam, bahwa pada kwitansi tersebut masih kosong tanpa nominal. Dugaan saya benar, kwitansi itu terkait honorarium atau transport bagi kami para rohaniwan sebagaimana lazimnya. Setelah tanda tangan, kami menerima amplop yang berisi sejumlah uang, tentang isinya, biarlah tetap menjadi rahasia.

Namun, sepanjang perjalanan pulang dalam kendaraan saya kembali teringat kejadian tadi, Mengapa kwitansi harus kosong? Mengapa jumlah yang sebenarnya tidak dicantumkan saja sejak awal? Atau apa salahnya sampaikan saja dengan jujur maksud untuk apa dan dimohon pengertian. Saya pribadi tidak pernah mempermasalahkan ada atau tidaknya honor, karena bagi saya ini juga bagian dari layanan di Kantor. Tapi tetap saja pertanyaan dalam hati berulang, bagaimana jika kemudian jumlah yang tertulis berbeda dengan apa yang kami terima? Bukankah praktik kecil seperti ini menyisakan ruang bagi kecurigaan? Ah kemudian saya berpikir biarkan saja toh juga mereka yang punya uangnya.

Setelah tiba di kantor, pikiran saya kembali terusik, saya kemudian berniat saja menghubungi dua rekan rohaniwan tadi, sambil basa basi dan ternyata mereka pun mengalami hal serupa. Kami sama-sama menandatangani kwitansi kosong dan menerima amplop tanpa kejelasan angka yang tercatat. Perasaan janggal itu dirasakan bersama, meski akhirnya kami memilih diam dan menjadikannya pengalaman untuk direnungkan dan kemudian saya catatkan saja dalam tulisan ini.

Saya pribadi merasa prihatin terhadap lembaga pendidikan ini, yang selama ini dikenal luas oleh masyarakat Sultra sebagai institusi berkualitas karena alumninya konon handal dan terbukti siap kerja. Namun karena ulah oknum, citra baik tersebut menjadi tercoreng Ironisnya, justru kepada kami yang sebenarnya orang luar terlebih kami hadir atas dasar sebuah udangan penyumpahan yang boleh dikategorikan sakral dalam keyakinan, justru kami diperlihatkan praktik yang kurang patut. Hal ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya melukai marwah lembaga itu sendiri, pada akhirnya, kwitansi mungkin bisa dibiarkan kosong, tetapi hati manusia tidak pernah bisa berbohong.

Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa kejujuran seringkali diuji bukan dalam perkara besar, melainkan pada hal-hal kecil yang tampak sepele. Satu kwitansi kosong tanpa nominal yang di suruh menandatangani bisa jadi hanya dianggap formalitas oleh sebagian orang, tetapi sesungguhnya ia menyimpan potensi masalah seperti hilangnya rasa percaya. Dalam lembaga pendidikan, yang mestinya menanamkan nilai integritas kepada mahasiswa, praktik semacam ini justru memberi teladan yang salah.

Jika kejujuran tergadaikan hanya karena urusan teknis administrasi, bagaimana kita bisa berharap lahir generasi yang menjunjung tinggi kebenaran? Dari kasus sederhana ini, saya belajar bahwa menjaga marwah lembaga sama artinya dengan menjaga nilai-nilai dasar yang menopang keberadaannya. Integritas bukan hanya jargon di spanduk atau visi-misi, melainkan harus hadir dalam tindakan sehari-hari, bahkan dalam selembar kwitansi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun