Oleh: Juanda Volo Sinaga
Analis Kebijakan di Ditjen Minerba
Â
Beberapa tahun terakhir, hilirisasi batubara menjadi semacam mantra di ruang-ruang diskusi energi nasional. Pemerintah mendorong nilai tambah, industri diminta bertransformasi, dan semua sepakat bahwa ekspor mentah harus dikurangi. Tapi kalau bicara hilirisasi, publik hampir selalu tertuju pada gasifikasi atau DME. Padahal, ada satu opsi yang jarang disorot tapi sangat menjanjikan yaitu semikokas.
Saya cukup yakin, sebagian besar pembaca mungkin belum familiar dengan istilah ini. Semikokas bukan barang baru, tapi kini punya makna baru. Ia adalah produk antara hasil karbonisasi batubara termal yang merupakan jenis batubara yang Indonesia miliki dalam jumlah luar biasa besar, tapi selama ini hanya digunakan untuk pembangkit listrik.
Apa yang menarik dari semikokas? Banyak. Ia punya kandungan karbon tinggi, kadar volatil lebih rendah, dan cocok digunakan sebagai reduktan dalam proses peleburan logam terutama nikel dan baja. Bahkan bisa menggantikan antrasit yang selama ini kita impor untuk teknologi Pulverized Coal Injection (PCI) di industri baja.
Kebutuhan domestik terus meningkat. Bayangkan saja, saat ini kita punya puluhan bahkan ratusan smelter nikel yang aktif. Pada 2027, jumlahnya diproyeksikan melonjak sampai 200 an fasilitas pengolahan dan atau pemurnian jika moratorium tidak segera dilakukan. Dengan proyeksi itu, kebutuhan semikokas dalam negeri bisa menembus 13 juta ton per tahun. Ini belum termasuk permintaan dari sektor baja dan industri lain yang juga menggunakan semikokas sebagai bahan bakar padat.
Sayangnya, sebagian besar semikokas itu masih harus diimpor. Tahun 2023, Indonesia mengimpor hampir 2,5 juta ton semikokas, sementara ekspornya hanya 1,5 juta ton. Lucunya, kita punya lebih dari 66 miliar ton cadangan batubara kalori rendah, bahan baku utama semikokas. Jadi, sumber daya ada, pasar ada, tapi produksinya masih minim. Ada yang janggal di sini.
Beberapa perusahaan sudah mulai melihat potensi ini. PT Megah Energi Khatulistiwa, misalnya, membangun fasilitas yang bisa memproduksi semikokas sekaligus menghasilkan produk samping seperti coke oven gas untuk listrik dan tar untuk marine fuel oil. Ini artinya, satu proses karbonisasi bisa menghasilkan tiga produk bernilai sekaligus. Efisien dan ekonomis.
Dari sisi teknologi, kita tak perlu khawatir. Sudah banyak opsi yang teruji secara teknis dan ekonomis, mulai dari rotary kiln hingga vertical furnace. Bahkan, keekonomian proyek semikokas dinilai feasible. Apalagi, pemerintah sudah memberi insentif fiscal termasuk royalti nol persen bagi proyek hilirisasi.