"Untuk mengantisipasi bencana yang mungkin saja terjadi, seperti tsunami atau gempa, hendak disediakan tempat safety untuk melindungi benda-benda museum seperti keramik".
"Atau dialihkan ke tempat aman, jauh dari bibir pantai", harap Tuti.
Beberapa keramik yang dipamerkan menarik perhatian pengunjung dan membuat penasaran akan nilai sejarah dan budaya yang dikandungnya. Sejarah yang dimaksud di sini adalah bagaimana keramik dengan retakan tersebut mengisahkan sebuah peristiwa besar yang terjadi di masa lalu yaitu gempa 30 September 2009.
Salah satu koleksi yang mencuri perhatian adalah sebuah guci dari Dinasti Ming yang permukaannya menampilkan retakan besar namun tetap kokoh. Benda ini bukan hanya indah secara estetis, tetapi juga menyimpan kisah perjalanan panjang sebelum akhrinya menjadi bagian dari koleksi museum.
Makna Retakan dan Ingatan Gempa
Lebih dari sekadar benda seni, keramik dalam pameran ini dihadirkan sebagai metafora. Sifat keramik yang rapuh dan mudah retak mencerminkan kehidupan manusia yang penuh ketidakpastian. Namun, sebagaimana keramik yang tetap bertahan meski retak, masyarakat pun bisa bangkit dari luka.
Dalam beberapa tahun terakhir, Museum Adityawarman berupaya menghadirkan pameran yang tidak hanya memerkan benda koleksi, tetapi juga membuka ruang refleksi. Koleksi keramik kali ini menjadi sarana untuk mengajak pengunjung merenung tentang warisan budaya sekaligus tentang ketangguhan menghadapi bencana.
Bagi generasi muda, pameran ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa museum bukanlah ruang mati, melainkan ruang dialog antara masa lalu dan masa kini. Keramik yang retak mengajarkan bahwa sesuatu yang rapuh sekalipun bisa tetap bertahan dan bercerita, selama ada yang mau merawat dan mendengarkan.
Secercah Harapan untuk Masa Depan