Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melipatgandakan Uang Jangan sampai Menjadi Indonesian Dreams?

13 Oktober 2016   12:26 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:27 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus melipat gandakan uang yang menjadi bahan pembicaraan di mass media bukanlah hal yang aneh, karena itu terjadi berulang kali dan bukan pertama kalinya. Sekalipun itu secara rasional tidak mungkin dan seharusnya menimbulkan tanda tanya: mengapa tidak si pelaku sendiri yang melipat gandakan uangnya? Tetapi tetap saja yang mau terbujuk. Bagi saya sebetulnya mereka yang tergiur melipatgandakan uang sama dengan mereka yang tergiur memasang undian fenomena 1950-an hingga 1990-an seperti porkas.

Ada kesan sebagian dari masyarakat ingin kaya dengan cara cepat seperti mendapatkan durian runtuh dari langit. Dalam sebuah diskusi di almamater saya dahulu, saya melontarkan jangan sampai keinginan cepat menjadi kaya ini menjadi “Indonesian Dreams” atau mimpi orang Indonesia. Saya pakai tanda kutip karena konsep ini masih bias diberdebatkan dan dicari. Lalu saya teringat dengan American Dreams.

American Dream pertama kali dinyatakan oleh James Truslow Adams pada 1931, bahwa setiap warga negara dari berbagai tingkatan kasta merasa bahwa mereka dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik, lebih mapan, dan lebih bahagia. Ide dari American Dream ini ditemukan pada kalimat kedua Declaration of Independence yang berbunyi

“all men are created equal” and that they are “endowed by their Creator with certain inalienable Rights” including “Life, Liberty and the pursuit of Happyness.”

Yang berarti “semua manusia diciptakan sama”, dan mereka “diberkahi oleh sang pencipta dengan hak mutlak tertentu” yang di dalamnya termasuk “kehidupan, Liberty(kebebasan/kemerdekaan), dan pencarian kebahagiaan [1] Yang dimaksud dengan American Dreams adalah orang Amerika menjadi kaya dengan cara kerja keras, mulai dari Henry Ford pendiri industry mboil hingga Mark Zuckerberg pendiri media sosial terkemuka.

Sekalipun lebih banyak yang buruk, terdapat film Hollyowood yang inspiratif seperti Hot Pursuit Hapyness, Will Smith atau Joy yang dibintangi Jennifer Larence. Film-filn itu Yang mengajarkan bagaimana orang Amerika kaya itu dahulu sengsara. Sayangnya film-film inspiratif itu kalau ditayangkan di Indonesia tidak menarik karena dianggap tidak menghibur. Yang menarik di sini ialah film ala Cinderella seperti Pretty Woman, atau di televisi serial Telenovela, Bollywood atau Turki tentang laki-laki muda kaya dan tampan dan senangnya menjadi orang kaya.


Masalahnya saya khawatir “Indonesian Dreams” tidak begitu? Sebagian orang Indonesia ini ingin menjadi kaya dengan cara instan. Mengapa? Karena orang-orang yang ingin kaya cepat ini melihat contoh, pejabat A dengan cepat punya rumah bagaikan istana dan mobil mewah. Selama berapa puluh tahun tidak banyak yang mengkritisi mengapa mereka menjadi kaya. Bagaimana dengan contoh di film dan sinetron? Sejak film Catatan Si Boy 1980-an, kebanyakan sinetron Indonesia 1990-an ialah kemunculan orang-orang yang kaya begitu saja tanpa diperlihatkan prosesnya.

Memang ada yang inspiratif seperti Laskar Pelangi, Merry Riana Mimpi Sejuta Dollar, yang diangkat dari kisah nyata dan tokoh digambarkan dalam film itu kalau pun sukses tetapi mempunyai kekayaan yang rasional. Sementara di sinetron Tukang Bubur Naik Haji pada awalnya menarik, karena tukang buburnya baik hati dan jujur, maka ia mendapatkan rezeki hingga bisa naik haji. Tetapi belakangan menjadi stripping terlalu banyak kebetulan dan akhirnya kembali ke pola sinetron Indonesia yang penuh orang dengki dan iri hati.

Si Doel Anak Sekolahan juga menarik karena memperlihatkan sebuah proses dan benar-benar berakar pada masyarakat Betawi yang gelisah karena sebagai orang kampung awalnya dengan tradisi yang kuat dipaksa tunduk menjadi orang kota dengan aturan dan sistem kapitalisme. Fenomena sistem ekonomi yang sebetulnya bentuk baru (tapi sebangun) dengan ekonomi Liberal sejak 1870 sewaktu masa penjajahan, ketika kaum inlander dipaksa mengenal uang. Namun sinetron pengikutnya ramai-ramai mengangkat kehidupan orang Betawi tidak seperti itu. Aspek komedinya justru ditonjolkan, bukan seorang anak muda Betawi yang penuh daya juang.

Cara-cara bertahan hidup tidak diajarkan secara massif lewat sinetron apalagi reality show. Yang terjadi adalah menyorot kaum marjinal mendapat durian runtuh atau pemberian ala sinterklas, lalu orang miskin menangis terharu. Seharusnya bantuan itu berupa pelatihan wiraswasta, dicarikan pasarnya atau dicarikan lapangan kerja. Untung masih ada Kick Andy yang mengangkat sosok yang inspiratif. Sayangnya tayangan inspiratif seperti ini, seperti penonton Laskar Pelangi dan Merry Riana justru ditonton orang-orang terdidik dan kebanyakan dari kalangan menengah juga, yang tahu bahwa menjadi kaya (dengan halal) bukanlah seperti membalikan telapak tangan.

Godaan untuk menjadi kaya cepat dari sinetron dan iklannya jauh lebih kuat dan lebih massif dibandingkan menjadi sukses dengan jujur dan kerja keras, selama stasiun televisi dan sineas Indonesia lebih banyak menayangkan tema orang-orang kaya tanpa sebab. Saya hanya bisa tersenyum kecut ketika seorang rekan saya wartawan senior menceritakan nikmatnya naik Toyota Camry yang dilukiskan smooth dan bisa tidur dibandingkan naik mobil Avanza.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun