Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1957 (11) Aparat Menindak Keras Crossboy (cowboy) dan Bacaan Cabul

28 Februari 2015   23:33 Diperbarui: 5 Juni 2016   14:34 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425115689120047303

[caption id="attachment_400145" align="aligncenter" width="438" caption="Klipping berita tindakan terhadap crossboy (Repro Pikiran Rakjat 1957 oleh Irvan sjafari)"][/caption]

Pada kuartal terakhir  1957 maraknya perilaku para cowboy atau crossboy (dua istilah yang saling berganti tetapi mengacu pada suatu kelompok remaja yang anti sosial)  akhirnya membuat aparat militer ikut menindak. Tindakan ini terjadi  bersamaan ketika   situasi politik nasional  kian memanas dan meningkatnya perasaan anti Barat dan yang dianggap berbau Barat.  Keberadaan para cowboy atau crossboy rupanya dianggap sebagai efek negatif dari budaya Barat.  Sejumlah perilaku para crossboy ini dinilai tidak bisa lagi ditolelir.

Pertengahan Oktober 1957 Polisi Bandung giat melakukan penangkapan terhadap crossboy terutama yang bergabung dengan Tiger Mambo1 dan Jaket Merah. Paling tidak dua anggota Tiger Mambo masuk tahanan. Kepala Reskrim Keresidenan Priangan Raden Imam Supojo penangkapan dilakukan karena anak-anak itu melakukan keonaran. Mereka yeng berusia belasan tahun itu meniru-niru apa yang ada dalam film (Pikiran Rakjat, 22 Oktober 1957).

Pada 28 Oktober 1957 sebanyak 9 orang crossboy dari Jakarta laki-laki dan perempuan ditangkap ketika naik sepeda motor di Jalan Stasiun Bandung. Kemudian mereka digiring ke kantor polisi Bandung.   Para pemuda dan pemudi itu memakai celana jengki, jaket merah dan berpakaian cowboy (Pikiran Rakjat, 29 Oktober 1957).

Terjadi keributan yang terjadi di SMP Trisila Ciamis  pada 26 Oktober 1957 bermula dari  ada murid yang berani ancam guru karena dia adalah   anggota crossboy. Murid  itu ditempeleng gurunya. Kemudian murid itu mengadu ke anggota gengnya.  Dua anggota crossboy kemudian datang membawa belati. Guru kemudian melapor ke Polisi Militer (CPM) dan keduanya kemudian ditangkap (Pikiran Rakjat, 28 Oktober dan 4 November  1957).

Awal November 1957  Kepala Staf Harian Pelaksana Kekuasan Militer KMKB Bandung Mayor T Arumah  mengeluarkan pernyataan bahwa crossboy selalu menganggu ketenteraman umum sebenarnya dapat disalurkan guna kepentingan Negara.  Mayor Arumah menuding crossboy dapat merusak persatuan pemuda.  Dia menyatakan akan melakukan tindakan drastis antara lain mencukur habis rambut para crossboy yang berbuat onar, dipotret dan dicatat namanya untuk masuk dokumentasi.  Para crossboy yang tertangkap kakan dibawa keluar kota dengan mobil kemudian diturunkan di tengah jalan untuk pulang jalan kaki. Alternatif lain crossboy yang tertangkap harus menunggang kuda tanpa pelana.  Dalam rangka pemberantasan crossboy KMKB mengadakkan seleksi terhadap film yang akan diputar di Kota Bandung (Pikiran Rakjat, 6 November 1957).

Realisasinya pada 25 November 1957 Pelaksana Kekuasaan Militer KMKB Bandung Letkol Suprapto mengadakan pertemuan dengan para pengusaha bioskop dan pengusaha reklame di Ruang Pertemuan Airlangga. Hasilnya pembentukan Panitya Pengawasa Film yang anggotanya ditunjuk PKM. Tiap film yang dimasukan ke bioskop di Kota Bandung harus mengandung dua unsur, yaitu unsur pendidikan dan unsur hiburan.  PGRI mengusulkan bahwa pembatasan usia umur dinaikan dari 17 menjadi 21 tahun.  Anak-anak sekolah hanya diperbolehkan menonton bioskop pada waktu libur atau Sabtu. Imam Supjo juga ingin menaikan kategori usia 13 tahun menjadi 17 tahun.

Pada saat hampir bersamaan sekitar 100 pemuda bercelana jengki digiring ke kantor polisi seksi I Bandung.  Sekitar 35 orang  yang celananya dianggap merusak di antaranya namanya dicatat dan setelah  diberi nasehat disuruh pulang ([Pikiran Rakjat, 26 November 1957).

Tindakan keras juga dilakukan militer terhadap crossboy Jakarta.  Pada pertengahan November 1957 CPM Mengadakan razia di depan bioskop Metropole .Yang kena razia ditangkap dan digiring ke kantor CPM. Beberapa di antaranya celana jengkinya dicopot. Ada juga di antara mereka menjadi tukang catut karcis (Pikiran Rakjat, 18 November 1957).  Razia celana jengki juga dilakukan pada akhir November 1957 di Manggarai, Kebayoran Baru dan Ciputat.  Mereka diangkut ke kantor CPM dan ada yang tidak memakai celana dalam (Pikiran Rakjat 30 November 1957). Penguasa Militer Jakarta Raya sejak pertengahan November mengeluarkan laragan bercelana jengki (Pikiran Rakjat, 16 November 1957)

Akhir November 1957 tiga crossboy dilaporkan ditangkap  Polisi Militer (CPM) Bandung  setelah terjadi perkelahian dengan seorang anggota CPM.  Ketiga anggota crossboy menggunakan rantai besi dan pisau belati dilumpuhkan.  Sayangnya tempat kejadian persisnya tidak disebutkan (Pikiran Rakjat, 27 November 1957).  Selang beberapa kemudian Polisi Reskrim Bandung bersama CPM melakukan razia terhadap pemuda bercelana jengki di kawasan Asia Afrika dan Pasar Baru. Sebanyak 59 pemuda ditangkap dan diberi nasehat.

Dalam suatu pertemuan antara Pelaksana Kuasa Militer KMKB Bandung, Kepolisian Karesidenan Priangan, organisasi-organisasi sosial dan Jawatan Pendidikan Masyarakat  membentuk Badan Pembimbing Pemuda (BP2) dalam November 1957. Untuk pengurusnya antara lain Soesjati, seorang perwira CPM  bekas inpsektur polisi dan eks pejuang 45 sebagai Pembantu Umum Teknik dengan wakilnya Tahidin dari Ippindo.  Terdapat nama Imam Supojo sebagai Wakil Ketua Komisaris , Nyonya Kamarga dari Perwari dan Kolonel Dr.Wonojudo dari Jawatan Kesehatan Angkatan Darat.

Badan Pembimbing Pemuda ini berusaha membentuk barisan-barisan seperti Barisan Keamanan Umum (BKU), Barisan Pemadam Kebakaran (BPOK) Barisan Pembantu Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (BPPK) dan Barisan Pemberantasan Buta Huruf (BPHP) yang akan terdiri dari pemuda-pemuda yang saat itu tidak mempunyai arah bergerak.  Tudingan ini jelas terarah kepada kelompok crossboy. Mayor T. Arumah dari PKM bahkan menginginkan  para crossboy juga direncanakan disalurkan untuk kepentingan perjuangan merebut Irian Barat. Mereka dapat membantu polisi dan tentara . Komisaris Besar Polisi Mustafa Pane mengungkapkan bahwa crossboy diberantas dengan kombinasi dua cara keras dan lemah lembut (Pikiran Rakjat, 12 November 1957.

Pada akhir November 1957 juga  Badan Pembimbing Pemuda (BP2)  menerima penyerahan 72 anak-anak nakal dari Reskrim untuk dididik di BP2 (Pikiran Rakjat, 30 November 1957). Jumlah ini menambah 119 anak yang diberikan pendidikan khusus good citizenship dan 72 anak yang sudah dididik kepolisan pada pertengan November (Pikiran Rakjat, 19 November 1957).  Tiga Inspektur Polisi Wanita dari Jakarta selama satu hari dan satu malam mengadakan peninjauan di Bandung mengikuti razzia polisi dan cara-cara Central Operation Room bekerja. Ternyata polisi Bandung lebih maju karena melibatkan Mobil Patroli Radio  hingga dalam 7 menit ada laporan, polisi berada berada di tempat kejadian  (Pikiran Rakjat 22 November 1957).

Persoalan Crossboy semakin merebak ketika para gadis mulai terlibat dengan sebutan crossgirl. Di Kota Tasikmalaya dilaporkan adanya tiga crossgirl  dan diikuti beberapa gadis dari Kota Bandung. Laporan itu diterima Komisaris Besar Mustafa Pane . Surtikah, Ketua Seksi Wanita Front Pemuda Sunda Tasikmalaya membantah keterangan polisi sebagai suatu diagnose yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.  Bahkan bisa mencemarkkan nama baik perempuan di kota Tasikmalaya (Pikiran Rakjat, 22 November 1957) Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) Tasikmalaya juga membantah adanya crossgirl di kota itu. Namun  sebuah intansi membenarkan banyak gadis bercelana jengki  berkeliaran di alun-alun. Mereka di sana sedang berolahraga.   (Pikiran Rakjat,21 November 1957). Mustafa Pane menyebutkan bahwa keberadaan crossgirl itu benar adanya memang benar. Keterangan itu resmi diberikan dalam pertemuan BP2 Bandung.  Mustafa Pane menyebutkan bahwa hanya beberapa gadis dan bukan mengenai umumnya gadis di tempat itu (Pikiran Rakjat, 23 November 1957).

Reaksi terhadap fenomena crossboy juga datang dari kalangan pelajar sendiri di Tasikmalaya. Juga pada akhir November 1957 murid-murid Sekolah Rakyat, Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas di Tasikmalaya melakukan pawai sambil meneriakan slogan “Indonesia Bukan Tempat Crossboys dan Crossgirls, Enjahkanlah Batjaan dan Gambar Tjabul, Berantasanlah Pakaian Jang Melanggar Kesusilaan”.  Pawai ini diadakan dalam rangka peringatan hari pendidikan (masa itu pada November), yang dihadiri ribuan murid.  Para guru, orangtua dan militer di Tasikmalaya juga mengadakan pertemuan.

Razia juga dilakukan para guru di Ciamis terhadap bacaan cabul, serta celana jengki di kalangan pelajar. Para guru juga menyita surat-surat percintaan. Para guru melakukan razia di asrama, rumah kediaman pelajar. Koper-koper dibuka, juga  sarung bantal, lemari pakaian, serta kelambu. Para pelajar Ciamis memberikan reaksi dengan mempertanyakan sampai mana kekuasaan para guru melakukan penggeledahan (Pikiran Rakjat, 28 November 1957).

Keterlibatan militer menindak crossboy  pada 1950-an diungkap juga dalam film “Detik-detik Berbahaja”.  Dalam film yang disutradarai oleh Turino Djunaidi  itu  diceritakan menghadapi kenakalan remaja (cross boy) pada tahun 50-an, diambil keputusan untuk mendidik mereka secara militer agar tumbuh rasa disiplin. Mula-mula muncul reaksi negatif dari para remaja, namun lama-lama lahir rasa persahabatan. Selama pendidikan itu mereka juga menyadari bahwa dalam hidup ini banyak hal penting. Di akhir pendidikan mereka berbaris penuh kebanggaan, dimeriahkan raungan kapal terbang, rentetan senapan mesin dan melajunya kapal di laut (http://filmindonesia.or.id/ diakses 28 Februari 2015).

Bacaan Cabul

Seperti halnya  munculnya crossboy, penindakan bacaan cabul secara keras juga terjadi pada kuartal terakhir 1957,.  Peredaran bacaan cabul menjadi isu yang keras di kota Bandung pada kuartal terakhir 1957. Walau pun pada 1956 masalah bacaan merusak sudah didiskusikan oleh sejumlah tokoh masyarakat. Pada 26 Oktober 1956 ada diskusi di Jakarta menghadirkan Sutan Takdir Alisjahbana , Hamka, Gajus Siagian. Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan: “… soal ketjabulan ini sebenarnja hanja merupakan satu bagian jang ketjil sadja daripada soal jang lebih besar, jang dihadapi oleh seluruh peri-kemanusiaan sekarang ini, jaitu tuntuhnja nilai-nilai jang mengakibatkan–boleh dikatakan–krisis kebudajaan dalam arti jang seluas-luasnja, jang dapat kita katakan melingkupi segala bangsa pada waktu sekarang ini.”

Hamka selaku pengarang dan ulama memberi penjelasan: “Diantara pendapat kami jang sama, ialah bahwasanja buku tjabul dan madjadlah tjabul hanjalah satu ranting sadja daripada satu pohon besar, jaitu krisis etik jang ada sekarang dalam seluruh masjarakat.” Aku adalah pengagum tulisan-tulisan Hamka. Pendapat itu membuatku pantas menghormati kesantunan Hamka dalam mengarang sastra. Aku pernah terlena dengan novel gubahan Hamka berjudulTenggelamnja Kapal Van Der Wijck. Novel itu mengantarkau ke jagat sastra tanpa ada “tjabul”. Sutan Takdir Alisjahbana dan Hamka menggunakan ungkapan sama: krisis. Peredaran bacaan cabul menguak krisis di Indonesia (lihat Bandung Mawardi “Tjabul” tertanggal 18 Januari 2013 dalam https://bandungmawardi.wordpress.com, diakses pada 28 Februari 2015)

Di Bandung isu bacaan cabul mulai gencar ketika awal Oktober 1957 PGRI Bandung mengeluarkan siaran pers untuk memberantas buku-buku cabul dan mengajak seluruh masyarakat ikut serta (Pikiran Rakjat 2 Oktober 1957).  Malam hari 12 Desember 1957 diadakan sebuah pertemuan di Gedung SGA II antara Panitya Pemberantasan Bacaan Cabul dengan 18 perwakilan penguasaha toko buku, serta Kepala Polisi Priangan T.Abdullah.  Dalam pertemuan itu perwakilan toko buku menandatangani perjanjian tidak menjual buku, majalah bacaan cabul atau yang dianggap cabul.  Perwakilan toko mengakui mereka tidak mempunyai pegangan  seperti apa bacaan cabul itu (Pikiran Rakjat, 13 Desember 1957).

Awal Desember 1957 Panitia Aksi Pemberantasan Bacaan Cabul datang ke pihak Pemegang Kekuasaan Militer  untuk ikut mengawasi bacaan cabul. Pada 7 Desember 1957 Pengadilan Negeri Bandung menuntut Umar Mansoor selama enam bulan penjara penanggungjawab penerbitan majalah yang dituding cabul. Umar Mansoor dan tiga orang lainnya diajukan ke pengadilan (Pikiran Rakjat, 9 Desember 1957). Sejak pertengahan 1950-an sejumlah majalah hiburan beredar di Bandung antara lain Chempaka, Roman Holiday, Amor dan Djuwitayang keempatnya berisi cerita cabul  (Pikiran Rakjat, 21 Oktober 1957).

Umar Mansoor dalam jumpa pers  pada November 1957 berkilah bahwa penulisnya juga ada dari kalangan guru. Umar Mansoor juga menyebutkkan karangan yang masuk sebelum diedarkan diperiksa dahulu kepada DPKN bagian pers dan hingga diajukan ke pengadilan dia tidak menerima teguran. Itu artinya majalahnya tidak merugikan masyarakat.  Reaksi pun berdatangan. Seorang warga kota Bandung bernama AK Wiraatmadja bertempat tinggal di Jalan Dago 117 menunjukkan kegusarannya  dan menilai tepat usulan PGRI agar Umar Mansoor diusir dari Indonesia. Reaksi juga datang dari Kurdi, Jalan Padjadjaran Bandung  yang juga mempertanyakan guru mana yang mengirim karangan ke majalah itu. (Pikiran Rakjat, 23 November 1957).

Maraknya bacaan cabul tidak semua disikapi dengan keras.  Seorang  warga kota Bandung bernama  M.O. Kim perhatian kaum muda kepada bacaan cabul karena bekurangnya bacaan yang mendidik.  Dalam tulisannya di rubrik “Sama Sekali Tidak Aneh: Soal Biasa Sadja Bukan…?”  ketika masih duduk di HIS, MULO hingga HBS dan AMS disediakan berbagai bacaan sesuai umur dalam Bahasa Melayu, Sunda, Jawa dan daerah lain. Selain cerita Kabaya, terdapat cerita Jules Verne, Karl May di perpustakaan sekolah.  Buku-buku seperti ini  pada era 1950-an terbatas dan sudah terbaca semua.  Pemberantasan buku-buku cabul harus diberantas dengan buku-buku pula (Pikiran Rakjat, 15 November 1957).

Dilema Perempuan Keluar Malam untuk Belajar

Pertumbuhan jumlah sekolah dan mulai berlangsungnya kuliah di Universitas juga mendorong semakin banyaknya perempuan yang belajar malam.  Selain itu dengan adanya kesempatan untuk belajar lebih tinggi membuat usia pernikahan bagi perempuan menjadi perdebatan.  Delegasi  DPRDP Propinsi Jawa Barat November 1957 mengajukan resolusi bahwa  batas usia menikah untuk perempuan 15 tahun dan untuk kaum pria 18 tahun dalam pertemuan dengan Menteri agama K.H.Iljas, Sekjen Kementerian PPK Hutasoit di Jakarta.  Pada masa itu kemajuan karena masih ada pernikahan  bagi perempuan usia akil balik atau umur 12-13 tahun.

Delegasi juga mendiskkusikan gadis-gadis bersekolah malam hari.  Menteri PPK hanya meminta untuk mereka yang kuliah bisa malam hari, tetapi untuk sekolah malam setingkat sekolah menengah atas ke bawah harus dipindahkan ke siang hari (Pikiran Rakjat, 9 November 1957).   Terjadinya peristiwa perkosaan terhadap beberapa perempuan muda di Kota Bogor (di antaranya ada yang menemui ajalnya)  melibatkan orang asing membuat DPRD Peralihan Jawa Barat mngeluarkan pernyataan untuk menjaga para gadis yang keluar malam.   Di antara mereka terdapat Hadijah Salim (politisi perempuan yang berafiliasi pada partai Islam), Sutrasih Rachman, Tjahjati Setiatin, Ratmi Sutresna, Sastrasomantri, Ismaun, Sumrasono dan H. Mansur (Pikiran Rakjat 23 Desember 1957).

Semakin meningkatnya jumlah perempuan yang terdidik tidak identik dengan berkurangnya pelacuran di Kota Bandung.  Bahkan  terdapat perempuan yang terdidik dengan baik untuk ukuran masa itu. Pada pertengahan November 1957 warga Bandung dihebohkan ketika  seorang gadis murid SMP berusia 16 tahun tertangkap basah di rumah pelacuran dengan seorang klerek oleh pihak kepolisian di Jalan Nyengseret Bandung (Pikiran Rakjat 16 November 1957).  Selama November 1957 sekitar 350 pelacur dari berbagai bangsa Indonesia, Tionghoa, Belanda ditangkap. Selain itu 74 perempuan tukang pijat, 45 orang disangka homo seksual dan 72 orang tukang copet juga ditangkap (Pikiran Rakjat, 4 Desember 1957).

Irvan Sjafari

Catatan Kaki Pembanding:

Pada  1950-an, geng Tiger Mambo sangat terkenal di kalangan crossboys. Para remaja yang umumnya etnik Ambon “Indo-Belanda” itu biasa mangkal di sekitar Jln. Riau (Jln. L.L.R.E. Martadinata sekarang). Mereka sangat disegani karena anggotanya pemberani dan jagoan berkelahi. Pada masa berikutnya, di kawasan Jl. Cipaganti dan sekitarnya, ada pula geng remaja yang disegani, mereka dikenal dengan nama “Boxty“.Para anggotanya bukan sekadar pemberani, tetapi memiliki keterampilan  tinju, karena mereka petinju-petinju amatir…  dikutip dari https://bandungvariety.wordpress.com/2008/03/12/geng-remaja-dalam-sejarah-kota-bandung/ diakses pada 28 Februari 2015 sebagai pembanding . Lihat juga Linggar Kusuma Maharani dan Faishal Hilmy Maulida dalam “Perilaku Gangster dan Remaja di Indonesia” dalam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun