Dulu sewaktu saya duduk di bangku SD di kawasan Bukit Duri Tebet 1970-an kerap berjalan kaki melalui gang-gang ke kawasan Sawo Raya kira-kira satu setengah kilometer bareng bersama berapa kawan. Paling-paling naik becak langganan. Â Juga pada waktu SMP lebih dekat lagi pulang pergi jalan kaki, sementara beberapa kawan naik sepeda.
Baru waktu naik SMA sekitar 1980-an naik angkutan umum karena jaraknya dari rumah sekira tujuh kilometer, sempat diantar naik mobil oleh supir terutama ketika masuk pagi.
Namun ketika masuk siang naik angkutan umum dan pulangnya baru dijemput, itu karena angkutan umum "belagu" istilah orang Betawi ketika jam pulang menghindar menaikan pelajar karena ongkosnya hanya separuh penumpang umum.Â
Kalau di atas 2000-an angkutan umum malah mengandalkan pelajar, karena penumpang biasa naik online atau punya motor yang mudah sekali mendapatkan tanpa uang muka (DP)
Sampai 1990-an adik-adik saya yang sekolah di Pondok Labu pulang ke Cinere, Deok lebih sering  naik kendaraan umum.  Kadang-kadang saya menjemput tetap naik angkot. Kalau krusial baru ayah yang antar dan jemput.
Naik sepeda motor? Terdengar mengerikan bagi anak sekolah menurut orangtua saya. Lebih-lebih mereka mendengar Seorang kawan SD saya meninggal dunia karena naik motor waktu duduk di bangku SMP karena kecelakaan.
Waktu itu  saya bingung bagaimana ceritanya dia mendapatkan SIM dan diizinkan naik motor? Secara fisik badannya juga terlalu kecil membawa sepeda motor.  Saya juga bingung bisa lolos dari razia.
Motornya yang dilarikan kencang menghantam tembok dan dia tidak pakai helm. Â Padahal sekolahnya (SMP) dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh bisa jalan kaki atau naik sepeda. Â
Jadi saya bingung apa salahnya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi  mengeluarkan larangan pelajar yang belum berusia 17 tahun mengendarai sepeda motor ke sekolah?  Bukankah Dedi Mulyadi hanya menegakkan aturan yang ada melalui Surat Edaran (SE) nomor 43/PK.03.04/KESRA ditujukan untuk semua satuan pendidikan di wilayah Jawa Barat per 2 Mei 2025
Saya mengapresiasi para siswa SMP Negeri 1 Padaherang di Pangandaran ramai-ramai berjalan kaki di pagi hari menuju sekolah. Para guru menyambut mereka bak pahlawan di gerbang sebagai bentuk dukungan untuk menumbuhkan kedisiplinan dan kebiasaan hidup sehat. Â Sekalipun ada pelajar yang merasa kakinya pegal karena belum terbiasa berjalan jauh.
Baca: Siswa SMP Pangandaran Jalan Kaki ke Sekolah Â
Saya juga heran dengan anak sekarang jauhnya berapa ya sampai mengeluh begitu? Apa tidak pernah berita orang seusia mereka jalan kaki sampai menyeberangi sungai untuk sekolah? Kok mereka tidak mengeluh lelah?
Dinas Perhubungan Jawa Barat pada 2024 pernah mengungkapkan lima puluh persen kececelakan lalu lintas di wilayah ini adalah pemotor yang didominasi kalangan pelajar. Data Gakkum Ditlantas Polda Jabar menyebut pada 2023 terjadi 9.014 kecelakaan dengan korban 3.213 meninggal dunia. Â
Seacara nasional, Kementerian Perhubungan mengakui pada 2018 kecelakaan lalu lintas yang melibatkan siswa SMA menembus 93 ribu kasus. Dari jumlah itu sebanyak 72 persen melibatkan sepeda motor.
Pada 1-23 Agustus 2023, Polri mencatat 782 orang meninggal, sementara 779 menderita luka berat dan 9.053 luka ringan akibat kecelakaan. Â Lebih dari empat puluh dia ribu terlibat sebagai pengemudi saat kecelakaan, dari jumlah itu sebanyak enam ribu adalah mereka berusia di bawah 17 tahun.
Padahal Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jelas melarang mereka yang kurang dari usia 17 tahun mengemudikan kendaraan bermotor karena syarat Surat Izin Mengemudi minimal 17 tahun. Jelas, kan? Â
Pasalnya usia di bawah 17 tahun masih labil, gampang tersulut emosinya. Fisik anak-anak itu kerap tidak memadai, karena sepeda motor didesain untuk orang dewasa.
Jangan sampai orangtua menyesal membelikan anak sepeda motor belum waktunya dan anaknya menderita kecelakaan meninggal atau cacat menyesalnya bukan main. Sudah ada kejadian.Â
Tanpa larangan dari Gubernur Jabar pelajar SD hingga SMP, bahkan SMA kelas satu dilarang bawa sepeda motor. Apa yang salah? Â Nah rupanya ada kendala tidak semua sekolah bisa diakses kendaraan umum. Â Hal ini diakui Wali Kota Depok Supian Supri hal ini menjadi masalah dan untuk itu Pemkot Depok akan menambah jumlah bus sekolah yang hanya dua buah saat ini.Â
Baca: Kala larangan siswa bawa motor ke sekolah tergancal moda transportasiÂ
Bagaimana tanggapan warga? Karina Maharani, warga Bogor, juga seorang manajer lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, secara pribadi memandang  kebijakan ini adalah langkah signifikan yang memikirkan kesejahteraan generasi muda.
Selain alasan untuk keselamatan, menjaga fokus akademik siswa serta mengurangi perilaku negatif, kebijakan ini juga mendorong siswa untuk tetap bergerak.
"Tapi tetap perlu dipikirkan solusi untuk siswa yang rumahnya jauh dan menggunakan motor adalah solusi terbaik untuk keluarganya," ujar Karina kepada saya, 9 Mei 2025.
Tetapi kan ada alternatif lain naik sepeda? Saya jadi bingung mengapa harus naik sepeda motor? Â Bukankah dulu pelajar-pelajar di Bandung tahun 1950-an naik sepeda dari rumahnya ke sekolah seperti yang diceritakan ibu saya waktu Sekolah Asisten Apoteker (SAA) di kota itu?
Bukankah jika pelajar di bawah 17 tahun dilarang bawa motor berkontribusi mengurangi polusi? Bukankah bersepeda mendukung kehidupan berkelanjutan? Begitu juga dengan naik kendaraan umum.
Mungkin ada beralasan jalanan sekarang terlalu penuh hingga sulit untuk bersepeda pada lokasi tertentu. Memang ada berapa kota yang menyediakan ruas jalan untuk sepeda, tetapi pada jam tertentu ruang geraknya terbatas. Jadi memang kendaraan umum yang bisa diakses pelajar harus disiapkan. Tetapi bukankah ini peluang bagi angkot?
Nah, sebetulnya ada alasan lain yaitu gengsi. Bagi pelajar membawa sepeda motor pada usia pubertas terkesan gagah dan jantan terutama bagi yang laki-laki.Â
Nah, ini juga dikonstruksi sinetron dan film Indonesia di mana anak SMA bawa motor, tanpa dijelasin mereka duduk di kelas berapa?  Jangan-jangan juga dengan bersepeda motor bisa ramai-ramai keluyuran  dan mungkin juga di tempat tertentu relasi dengan geng motor?
Untung film populer  "Dilan 1990" tokohnya digambarkan  duduk di kelas tiga usianya sudah 17 tahun. Sekalipun tentang geng motor.  Dalam "Ancika 1995 Dia yang Bersamaku", tokoh ceweknya naik angkutan umum. Â
Sementara dalam "Gita Cinta SMA" malah tokoh utamanya bawa sepeda ontel dan jadi saingan dengan cowok yang membawa motor. Â "Ada Apa dengan Cinta" tokoh utamanya naik angkutan umum. Sekalipun ada yang naik mobil, tetapi tidak motor.
Konstruksi di sinetron dan film penting untuk menggalakan kampanye pelajar di bawah 17 tahun tidak membawa sepeda motor bukan justru mempromosikannya. Â Mengapa bersepeda kurang dipromosikan? Mengapa pelajar naik kendaraan umum tidak dipromisikan?
Jadi memang Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ini  selaras dengan regulasi dan juga sistem zonasi, namun pelaksanaan tidak akan mudah. Perlu dipikirkan bagaimana dengan mereka yang terlanjur tinggal jauh dari sekolahnya?
Bisa juga Bapak dan Emaknya yang mengantarkan naik motor atau mobil. Mudah-mudahan mereka bersedia menyisihkan waktu.
Bagaimana juga mengubah mindset agar naik kendaraan umum karena yang dewasa saja kalau ke kantor tidak mau, mereka  lebih suka naik kendaraan pribadi? Anak-anak juga butuh contoh. Kalau soal macet di jalan bukan salah sepenuhnya pelajar, tapi  salah kebijakan pemerintah sendiri. Itu soal lain. Makanya bikin kebijakan jangan parsial pikirkan A-Z.Â
Kalau secara pribadi saya sih soal pelajar tidak boleh bawa kendaraan sepeda motor Yes!
Irvan Sjafari
Sumber:
https://www.detik.com/jabar/berita/d-7464245/dishub-jabar-ungkap-angka-kecelakaan-didominasi-pelajar
https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/remaja_dan_kecelakaan_lalu_lintas
https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/remaja_dan_kecelakaan_lalu_lintas
Sumber Foto:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI