Pada Januari 2025 lalu Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan kuliner batagor, mi kocok (mie kotjok) dan tahu Cibuntu dalam Warisan Budaya Tak benda dan mengusulkannya ke pemerintah pusat. Â Penetapan ini menjawab usulan Pemerintah kota Bandung pada Desember 2024.
Saya setuju dengan usulan ini karena ketika berkunjung ke Kota Bandung ketiga kuliner bisa dengan mudah dipenuhi dengan banyak penjaja. Meskipun menurut saya ketiga kuliner ini bukti akulturasi yang luar biasa antara budaya Tionghoa dengan budaya lokal (Sunda).Â
Meskipun demikian Pakar Gastronomi  dari Universitas Pendidikan Indonesia Dewi Turgarini perlu dilakukan diidentifikasi terlebih dahulu secara akademik untuk ketiga kuliner itu.
Sejarah akulturasi Tionghoa dapat dilacak dari tumbuhnya pemukiman Tionghoa dengan adanya Perang Diponegoro tahun 1825-1830 dan masuknya pekerja Tionghoa saat pembangunan kereta api di kota Bandung.
Memang pengaruh Tionghoa kuat pada tiga kuliner itu. Â Mi kocok sebetulnya hidangan yang ditawarkan rumah makan Tionghoa sebelum diadaptasi oleh rumah makan yang dikelola orang Sunda dengan cerdas.
Saya menemukan iklan Rumah Makan Sin Yu yang berlokasi di Jalan Kabupaten yang menawarkan hidangan Mie Kotjok selain Mie Pangsit di surat kabar Algemeen Indisch Dagblad de Preanger Bode 22 Juni1956.Â
Begitu juga dengan iklan Sweet Corner di Jalan Suniaradja dekat Braga Sky menawarkan hidangan Mie Kotjok, Ayam Nanking, hingga Gulai Kambing di Preanger Bode 5 Februari 1957.
Iklan Batagor tidak  pernah saya temukan selama melacak koran-koran lama, yang ada iklan hidangan siomay dan Bapau  di De Preanger Bode 4 Januari 1957, yaitu Restoran Lok Thian di Jalan Asia Afrika nomor 26. Rumah makan ini juga menawarkan hidangan Tionghoa dan Eropa.
Dari data itu kemungkinan untuk mi kocok dan siomay sudah ditawarkan rumah makan Tionghoa jauh sebelum era 1950-an. Namun batagor adalah hal baru.