Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wanadri dan Mapala 1964-1969, Awal Gerakan Pencinta Alam Indonesia

30 Maret 2024   00:05 Diperbarui: 30 Maret 2024   00:09 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gie dalam salah satu kegiatan pendakian-Foto: Catatan Seorang Demonstran/National Geographic.

Di kala waktu senggang, saya suka ke perpustakaan nasional membaca dan mencatat berita atau artikel dari koran atau majalah lama, baik berupa mikrofilm maupun cetak.  Salah satu topik yang pernah saya tulis ialah tentang 1964, Mahasiswa Antropologi Unpad Jelajah Baduy  

Saya mengumpulkan 5-6 artikel tentang eskpedisi Baduy yang dilakukan oleh mahasiswa Antrop itu pada Oktober 1964. Kemudian dalam suatu kunjungan saya menemukan juga artikel tentang pendirian Wanadri, sebuah organisasi pencinta alam pada tahun yang sama. Pada tahun yang sama Mapala UI juga berdiri.

Kesamaan tahun ini memberikan kemungkinan bahwa kegiatan jelajah alam baru bisa terjadi pada 1960-an ketika keamanan terutama di Jawa Barat sudah pulih dengan berakhirnya DI/TII pada 1962. Kemudian gerakan pencinta alam dan dipelopori mahasiswa ketika situasi kampus panas karena kepentingan politik memasuki kampus melalui berbagai ormas.

Pada waktu itu kerusakan hutan dan alam sudah terjadi, tetapi tidak semarak beberapa dekade setelah era itu.  Namun menjelajah hutan dan gunung tampaknya menjadi semacam counter culture kehidupan di kota bagi sebagian kalangan mahasiswa era 1960-an.

Wanadri


Pikiran Rakjat 2 Maret 1969 dan skripsi  yang ditulis Aditya Rachman (2018) menyebutkan sejumlah mahasiswa mendirikan perhimpunan Wanadri pada 17 Januari 1964  di Hutan Pananjung, Pangandaran.

Mereka punya hobi yang sama hidup di alam bebas. Namun menurut Ketua Divisi Lingkungan Yayasan Wanadri  Feby Nugraha dan skripsi Adiya peresmiannya baru dilakukan pada 16 Mei di Bandung  tahun itu juga.

Para pendiri itu adalah Ronny Nurzaman (mahasiswa ITB), Harry Hardiman (mahasiwa Fakultas Ekonomi Padjadjaran), Bambang Pramono (mahasiswa Universitas Parahyangan), Satria Widjaja Somantri, Eddy Achmad Fadillah, dan Achmad Hidayat merupakan mantan pandu.

Wanadri berasal dari bahasa Sansekerta, Wana artinya hutan dan Adri artinya gunung. Ide-ide awal pendirian Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri banyak dipengaruhi oleh kegiatan Kepanduan, kisah-kisah Pewayangan, Winnetou yang banyak melakukan perjalanan.

Tujuan Wanadri adalah mendorong dan memupuk kepercayaan diri anggotanya, mengembangkan keuletan dan ketabahan.

Pada masa itu sangat sulit mencari anggota, karena siapa yang ingin berkegiatan di alam bebas atau bisa dibilang buat apa naik gunung keluar masuk hutan mencari bahaya.

Pada masa itu  sekalipun pemberontakan DI/TII sudah mulai surut, hutan dan gunung  masih ada yang digunakan sebagai markas DI/TII.

Kondisi ini menyebabkan, awalnya pengumpulan anggota Wanadri dilakukan dengan merekrut teman ataupun sanak saudara.  Akhirnya terkumpul 31 orang yang kemudian disebut Pelopor.

Dalam artikel di Pikiran Rakjat tersebut diungkapkan Wanadri  dapat diminta keterlibatannya untuk operasi SAR, yaitu  melakukan pencarian apabila ada pesawat jatuh. Wanadri bisa juga diperbantukan pencarian orang yang hilang di hutan.

Namun hingga Maret 1969 Wanadri belum diikutsertakan dalam operasi SAR. Sekalipun hingga waktu sudah 15 anggotanya ikut pendidikan SAR.

Sejak Januari 1964 hingga Maret 1969, Wanadri sudah melakukan 20 perjalanan yang dilakukan tim yang terdiri dari 5 orang.  Perjalanan itu antara lain pendakian Gunung Rinjani (Lombok), Gunung Agung (Bali), Gunung Semeru (Jawa Timur), seluruh gunung terkemuka di Jawa Barat, penjelajahan Ujung Kulon hingga Panaitan.

Pada 1967 bersama Gapokerta, Wanadri melaksanakan Proyek Api Cita, pembukaan pertanian di di wilayah Bayah Banten Selatan.

Di luar itu pada 1968 Wanadri mengadakan kegiatan yang disebut  Musim Pendakian Gunung (Wanadri Season) dengan 16 tim.  Mereka tersebsar melakukan pendakian Gunung Slamet, Anjasmoro, Welirang, Arjuno, Blauran, Dempo dan Merapi Kecil di Sumsel.

Mapala

Pada tahun yang sama sejumlah mahasiswa UI mendirikan Mapala pada 12 Desember 1964. Mapala UI merupakan wadah bagi mahasiswa Universitas Indonesia untuk berkegiatan di alam bebas, berkontribusi bagi masyarakat, serta peduli terhadap pelestarian lingkungan.

Mapala UI berdiri di Bukit Ciampea, Bogor. Nama yang digunakan waktu itu adalah Mapala Prajnaparamita. Prajnaparamita diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti Dewi Pengetahuan. Mapala juga bermakna berbuah atau berhasil.

Soe Hok Gie adalag saah seorang pelopor  pendirin organisasi. Aktivis mahasiswa terkemuka. Jenuh dengan situasi yang penuh intrik dan konflik politik di kalangan mahasiswa waktu itu.

Hok Gie mengusulkan untuk membentuk suatu organisasi yang bisa menjadi wadah berkumpulnya berbagai kelompok mahasiswa.

Hal ini dibenarkan Herman Onesimus Lantang, rekan Hok-gie di Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengatakan banyak organisasi mahasiswa yang masuk sebagai onderbouw para politik tertentu.

Herman seperti dikutip dari Goodnews Indonesia juga muak dengan iklim politik kampus.  Dalam benaknya ide membentuk wadah untuk menampung mahasiswa yang ogah digolong-golongkan ke dalam partai politik tertentu dan lebih senang berkegiatan di alam bebas.  

Hok Gie terbilang sering mengorganisir kegiatan pendakian ke berbagai gunung tinggi di Pulau Jawa. "Tujuan Mapala ini adalah mencoba membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat, dan almamaternya," tulis Hok Gie di Majalah Bara Eka Nomor 13 tahun iii, Maret 1966 yang dikutip dari Kompas.

Pendakian Gunung  Paruh Kedua Dekade 1960-an

Bagaimana pendakian gunung pada paruh kedua 1960-an?  Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran menulis pada 30-31 Mei sampai 1-2 Juni 1969, Gie berangkat bersama Sunarti, Sjafe'i, Djoko dan Purnama dengan naik kendaraan umum.

Mereka mulai mendaki sore hari dan pada pukul 16.30 sampai di batas air untuk beristirahat naik lagi.  Jam 18.00 mereka makan lontong dan markisa. Pendakian berjalan lambat dan mereka sempat disusul rombongan penduduk desa  yang beteriak: "Allahu Akbar!"pada pukul 20.30

"Seram juga. Kita biarkan mereka lewat lebih dahulu dan menolak berjalan bersama. Mereka juga cepat sekali jalannya."

Mereka beristirahat memasang tenda pada pukul 21.00 dan melanjukan perjalanan pada pukul 4.30. Perjalanan ternyata panjang dan tiba di puncak pukul 14.00. Praktis tak terlihat apa-apa karena kabut.

Gie dan kawan-kawan makan biscuit dan membagikan air gula. Salah seorang rekannya Purnama sempat kolaps.

Mereka kemudian turun dan tiba di batas hutan pukul 24.00 dan camping site pada pukul 02.00 untuk istirahat. Jam 05.00 mereka bangun  dan lima menit berjalan sampai di batas desa. Pukul 10.00 sudah tiba di Cirebon dan kemudian beristirahat di rumah nenek Syafei.

 Pada 8 Juni 1969 Gie melukiskan situasi Gunung Sindoro yang tidak terlalu indah. Hutan-hutannya botak karena kayu-kayunya banyak diambil Mereka hanya butuh empat jam untuk mencapai puncak.

Gie dalam catatan menceritakan tentang guide yang meminta uang lebih dan memberikan kesan mau memeras.  Namun dia menolak dan akhirnya guide itu minta maaf.

Pada Agustus 1969 Gie dan belasan rekannya mendaki Gunung Slamet, juga di tengah situasi politik yang masih kisruh, misalnya bentrokan antar Ansor dan GPM.  Rombongan Mapala berangkat dengan perbekalan 35 lontong, 50 serabi, jug-jug berisi air melalui perjalanan lebih sulit.  Kerap setiap kali minum hanya meneguk air setara secangkir.  Sekaleng kornet harus dibagi lima belas orang untuk menambah kalori.

Dalam tulisannya bertajuk Menaklukan Gunung Slamet Gie melukiskan bahwa hutan di gunung itu tidak seindah di Pangrango atau Merapi. Jalannya  berliku-liku. Untuk sampai puncak, mereka harus mengarungi tiga punggung bukit.

Yang menarik Gie ketika berada di Puncak Gunung Slamet menemukan tulisan di batu "Aku Pendukung Soekarno". Kawannya ada yang berniat menghapuskan, namun Gie melarangnya.

"Saya katakan kita harus menghormati the right of dissent. Dan setiap orang setuju atau tidak setuju dengan Soekarno," tulis Gie yang dimuat di buku Zaman Peralihan. 2005.

Gie juga menyinggung cerita yang menyebut Gunung Slamet angker.  Namun dia mengaku tidak percaya setan karena orang yang merasa melihat setan adalah yang paling lemah fisiknya dan mudah berhalusinasi.

"Saya pernah tidur sendirian di hutan selama satu jam dan tidak seekor setan pun datang berkunjung" ujar Gie.

Gie sendiri bersama rekannya Idhan meninggal dalam pendakian di atas Gunung Semeru pada Desember 1969. 

Jenazah mereka berdua sempat berada di puncak Semeru sekitar sepekan hingga berhasil dievakuasi dan dibawa pulang ke Jakarta.

Menurut catatan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, seperti dikutip dari Kompas, Soe Hok Gie dan Idhan adalah korban pendaki gunung pertama yang meninggal di Gunung Semeru.

Gie meninggalkan catatan tidak saja bidang politik tetapi gerakan pencinta alam.  Dia adalah salah seorang pelopor gerakan pencinta alam dari kalangan kampus.

Bagi saya meninggalnya Gie mengakhiri periode awal sejarah gerakan pencinta alam di Indonesia. Pada dekade berikutnya pencinta alam mulai bermunculan di kampus.  

Irvan Sjafari

  

Sumber Lain:

Aditya Rachman Wanadri mengarungi Alam 1964-2014, Skripsi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta, 2018

https://mapala.ui.ac.id/sejarah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun