Suatu hari dalam 1990-an, saya diajak seorang wartawan senior untuk wawancara pemain Klub Pelita Maboang Kessack, yang pernah memperkuat Tim Kamerun di Piala Dunia. Â Saya waktu itu masih menjadi reporter junior sebuah mingguan berita berkesempatan mengobrol.
Salah satu pertanyaan yang saya ingat, ialah mengapa Indonesia sulit berprestasi di tingkat dunia. Maboang bekata kira-kra demikian, bahwa fisik rata-rata orang Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan rata-rata pemain Eropa, Afrika, Amerika Latin bahkan dengan Timur Tengah dan Asia Timur.
Selain  itu stamina pemain Indonesia tidak bisa untuk main 2 x45 menit. Itu ada benarnya. Saya hanya mengamati sepintas, iya nggak sih Tim Indonesia hanya kuat untuk main hingga pertengahan babak kedua alias sampai menit ke 70?
Kalau begitu? Indonesia fokus saja ke olahraga yang rata-rata fisik pemainnya memungkinkan, seperti bulutangkis, saran dia.
Iya, ada benarnya. Â Walaupun faktor Maboang ungkapkan bukan satu-satunya faktor. Di tingkat Asia Tenggara, Tim Sepak Bola Indonesia juga sulit melewati Thailand, bahkan Vietnam. Â Pernah di sebuah kejuaraan AFC nyaris juara tinggal melawan Malaysia, namun kandas juga.
Yang saya sesalkan bukan soal menang dan kalah, tetapi kebanyakan seremoninya. Tokoh-tokoh politik tiba-tiba menunjukan kepeduliannya pada Timnas Sepak Bola Indonesia dengan mengundang untuk bertemu.
Saya menduga, jangan-jangan ada aspek politis juga karena sepak bola olahraga populer. Biar politisi itu jadi eksis di mata masyarakat karena peduli sepak bola.
Okehlah, faktanya olahraga yang konsisten berprestasi, ya bulu tangkis, baik di kejuaraan khusus bulu tangkis seperti All England hingga multi olahraga seperti Olimpiade yang kini berlangsung. Sekalipun ada masa turunnya, tetapi bulu tangkis mencatatkan sejarah yang panjang.
Kegaduhan untuk menjadi Ketua di induk olahraga sepak bola tidak seperti di induk olahraga bulu tangkis apalagi induk olahraga lainnya. Sudah nggak berprestasi, suka gaduh pula. Itu menandakan seksinya sepak bola bukan karena prestasi, tetapi lebih karena aspek "sosio politis".
Bulutangkis masih bagus masih ada perhatian. Setidaknya ada mantan pemainnya, yang kehidupan ekonomi baik. Â