Lantunan lagu "Que sera-sera", 'Wo Ai Ni", "Burung Kakaktua" dari musik angklung mengalir begitu harmonis menyambut kedatangan saya di aula pertunjukan Saung Angklung Udjo (SAU) di kawasan Padasuka, 5 Mei 2014.Â
Sang Dirijen Yayan Mulyana, putra keenam dari Mang Udjo, pendiri SAU ini begitu bersemangat memberikan arahan bagi puluhan wisatawan mancanegara hingga wisatawan lokal yang tak kalah bersemangatnya memainkan angklung.
Rupanya tiga lagu tadi dimainkan oleh mereka. Acara ditutup dengan pertunjukan musik dari pemain anglung senior sebanyak 17 orang, memainkan lagu "Can't Take My Eyes Off You" yang dipopulerkan penyanyi AS Andy Williams tahun 1960-an.
Saya pernah menyaksikan pertunjukan SAU mampu memainkan lagu jazz, rock, hingga klasik, seperti "Mozart", "Bohemian Rhapsody" dari Queen yang tingkat kesulitannya tinggi.
"Prinsipnya jazz dan rock bisa dimainkan dengan musik angklung, nyaris sama dengan pemain piano ada 4 grade sekitar tiga tahun. Belajar setahun di angklung boleh manggung dan seperti belajar alat musik lain perlu bakat," ujar Yayan ketika saya temui seusai pertunjukan.
SAU adalah sasaran terakhir dari serangkaian repostase di Priangan yang saya lakukan untuk sebuah majalah wisata.
Saya suka bagian ketika puluhan anak-anak dari warga sekitar yang juga belajar angklung menyerbu masuk dan mengajak penonton ikut menari di lapangan diiringi lagu-lagu "Halo-Halo Bandung", "Injit-Injit Semut", "Rasa Sayange" hingga lagu zaman anak-anak dulu yang pernah dibawakan Joan Tanamal, "Goyang Kiri Goyang Kanan".
Angklung bisa memainkan lagu apa saja karena sudah diubah dari Pantaton ke Diatonic pada oleh Daeng Soetigna dan kemudian Udjo Ngalagena (pendiri SAU). Sebelum terobosan yang dilakukan oleh kedua maestro angklung ini musik angklung tak ubahnya seperti musik tradisional lainnya, seperti gamelan. Demikian referensi yang saya baca.
SAU sendiri bukan saja menawarkan tempat pertunjukan dan belajar angklung, tetapi juga kuliner yang dikelola warga, toko suvenir terkait angklung. Saung Angklung Udjo menggandeng 12 kelompok mitra perajin, di mana pada setiap kelompok terdiri dari 5-8 perajin yang tersebar di sekitar Saung Angklung Udjo, serta memiliki sebuah koperasi yang mewadahi para mitra pengrajin
Produksi angklung SAU bahkan sudah mencapai sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Singapura, Jepang, Malaysia, Australia, Belanda, dan sebagainya, selain pasar domestik. Dengan demikian SAU adalah destinasi wisata budaya yang terintegrasi dengan baik.
Udjo sendiri belajar angklung sejak masih kana-kanak. Selain dengan Daeng Soetigna, Udjo juga menyerap ilmu dari Mang Koko, ahli kecapi, Raden Machjar Angga Kusumadinata, guru gamelan yang membuat musiknya kaya referensi.Â
Pada 1958, Udjo mulanya memainkan angklung secara berkeliling, baru kemudian pada 1966 bersama istrinya Ny Uum Sumiati mendirikan Saung Angklung Udjo (SAU).
Kontribusi SAU ini sebetulnya menciptakan hibrida, musik Sunda dengan unsur musik luar bisa memesona di mancanegara. SAU menjadi pop culture bernilai tinggi
Namun saya baru wawancara Taufik Hidayat, Direktur SAU keesokan harinya di tempat yang sama. Dia menceritakan SAU itu pernah jatuh bangun. Waktu Krismon 1998 bertahan dengan cara memotong gaji para direkturnya yang notabene juga kakak-kakaknya sendiri dan termasuk dirinya sendiri agar karyawannya tidak di-PHK.
"Konsep wahana di Jawa Barat seharusnya melibatkan warga seperti di SAU ini. Warga juga dilibatkan sebagai pelaku UKM, termasuk kuliner," kata dia.
Saya sendiri menyaksikan pertunjukan live Babendjo Saung Angklung Udjo pada event Kampoeng Jazz, Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur, pada 2 Mei 2015, yang menghibur audiens lewat aransemen musik angklung yang menarik.Â
Salah satunya adalah aransemen jazz atas tembang Sunda "Manuk Dadali." Babendjo. Band bentukan SAU ini berapa kali memeriahkan berbagai event jazz.
Kini SAU diuji kembali untuk kedua kalinya. Kali ini jauh lebih berat dibanding 1998. Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak tahun lalu memberi dampak besar bagi perekonomian masyarakat. Pembatasan yang memaksa semua orang harus tinggal di rumah membuat sejumlah tempat usaha dan wisata sepi dari pengunjung.Â
Sepinya pengunjung juga berimbas pada Saung Angklung Udjo telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap lebih dari 90 persen karyawannya.Â
"Pengurangan pegawai bukan akan, tapi sudah sebagian bulan-bulan kemarin. Dari 600, sekarang cuma 40," kata Direktur Utama Saung Angklung Udjo Taufik Hidayat.
Selama pandemi berlangsung, 20 pegawai masih harus tetap disiagakan di SAU untuk menyambut tamu. Adapun kewajiban operasional yang masih harus dikeluarkan SAU selama pandemi mencapai Rp300 juta.
Pada awal pandemi, biaya tersebut melesat hingga Rp500 juta.Hal ini terjadi karena, manajemen SAU harus mengembalikan sejumlah dana pembatalan yang sudah disetorkan calon tamu sebagai uang muka pertunjukan.
"Untuk menutupi biaya operasional, terpaksa menggunakan tabungan karena kami pikir, kondisi ini hanya berlangsung sekian minggu. Tapi, ternyata kan sampai sekarang masih terjadi, bahkan masih belum terlihat akhirnya seperti apa, sedangkan tabungan sudah habis," kata Taufik.
Pria yang karib disapa Kang Opick ini mengakui jumah pengunjung dalam sepekan hanya 20 orang. Sementara dalam kondisi normal jumlah pengunjung rata-rata dua ribu orang per hari. Jika tidak ada perubahan, akhir bulan ini SAU bisa ditutup.
Perlu Intervensi
Di tengah kesulitan yang dihadapi para pegiat seni, beredar Lampiran Surat Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Nomor TU.01.02/4558/XII-2020-Parwis.Â
Lampiran itu berisi daftar nominatif rekapitulasi penerima hibah pariwisata tahun anggaran 2020 di Kota Bandung. Total dana yang digelontorkan mencapai Rp21,4 miliar. Masalahnya, dana hibah itu hanya didistribusikan kepada hotel dan restoran, dengan jumlah beragam.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung, Kenny Dewi Kaniasari mengungkapkan dana hibah itu berasal dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan ditujukan bagi hotel dan restoran.
Dalam pendistribusiannya, dinas merujuk ketentuan yang terdapat di dalam Surat Keputusan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor KM/704/PL.07.02/M-K/2020.
Padahal destinasi wisata tidak hanya restoran hotel yang perlu mendapatkan dan hibah, tetapi juga destinasi wisata yang dikelola secara mandiri seperti SAU ini. Apalagi SAU sudah puluhan tahun menjadi destinasi wisata wajib bagi wisman jika singgah di Kota Bandung.
Namun pihaknya mengalokasikan dana sebesar Rp590 miliar untuk mengadakan kegiatan virtual guna menjaga eksistensi para seniman berbagai disiplin di tengah pandemi Covid-19, di antaranya seni rupa, tari, dan musik.
Namun belum bisa dipastikan apakah upaya ini cukup menyelamatkan SAU. Rasanya perlu intervensi pemerintah agar destinasi wisata budaya jangan sampai tinggal jadi catatan sejarah.
Irvan Sjafari
Sumber:
Sukmadiningkrat, Aditya Pratama, "Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Porduksi Kerajinan Angklung di Saung Angklung Udjo, Skripsi Sarjana", Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Pasundan, 2018