Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (4)

15 September 2020   16:56 Diperbarui: 15 September 2020   17:08 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi-ceritanakdunia.com

Purbaendah punya naluri yang kejam. Tak kalah dengan Purbararang. Menurut aku dia juga punya kencenderungan membunuh, tetapi hanya kalau perlu.

"Lutung ini?" kata seorang pengawal menunjuk aku. Perenunganku buyar.

"Bawa dia ke Cupu Mandalayu. Patahkan kakinya, "

" Bakhtanshar , kau yang memimpin pasukan ke Cupu Mandalayu! Kau yang mematahkan kakinya," Dia memanggil seorang berkulit putih berbadan tinggi. Wajahnya bengis.

Celaka aku.  Orang yang bernama Baktanshar itu seorang perwira berbadan tinggi bekulit putih. Lebih tepat seperti raksasa,  sebahu dari Hiang.

Ilustrasi Ibu Kota Pasir Batang-dari Halo.Grid.
Ilustrasi Ibu Kota Pasir Batang-dari Halo.Grid.
Sore itu aku dibawa  entah ke daerah mana.  Aku juga ingin tahu apa yang disebut Cupu Mandalayu. Bahktanshar setinggi dua meter membawa dua belas pengawal menggiring aku di kerangkeng yang ditarik gerobak.

Jangan takut Guru Minda. Aku tetap di sampingmu. Tidak bisa ikut campur, tetapi bisa membuat orang-orang yang tidak suka Purbararang menolong.

Suara Hiang. Mahluk alien itu hebat.  Dia bicara melalui telepati, tidak menampakan diri. Dia tahu apa yang terjadi di depan.  

Perjalanan cukup jauh. Sayang kompas di dalam tas ransel yang dibawa Dadung Baladewa.  Memasuki malam hari  Bahktanshar dan rombongannya yang membawa aku sudah tiba di sebuah hutan.  Dia bicara pada anak buahnya dan Hiang menterjemahkan di kepalaku,

"Aku tak sabar mematahkan kaki manusia lutung itu.  Sayang bukan lehernya. Bukakan kerangkengnya!" perintahnya.

Dua pengawal membukakan kerangkeng.  Pria raksasa itu menatapku dengan bengis. Begitu kerangkeng dibuka, dua pengawal menyeretku. Tapi begitu aku keluar, sesuatu melesat, seperti sumpit mengenai pengawal yang memegangku hingga dia terjengkang. Sumpit itu beracun, pengawal itu menggeliat kesakitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun