Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Bumi Manusia", Latar Sejarah, dan Mawar Eva de Jongh

18 Agustus 2019   15:08 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:27 2189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster: Instagram Falcon Pictures

"Berbahagialah mereka yang makan hasil keringatnya sendiri."

Demikian ucap Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) ketika mendengar keinginan Minke (Iqbaal Rhamadan) untuk belajar mengelola bisnis dan dia sendiri sudah melakukannya.

Salah satu adegan dalam film "Bumi Manusia" ini merupakan insprasi menarik yang bisa dipetik tentang etos kerja. Walaupun Nyai Ontosoroh tidak menempuh pendidikan formal tetapi mampu belajar secara otodidak menjalankan bisnis dari Herman Mellema yang menjadikannya "istri" simpanan.

Minke sebetulnya seorang anak bupati bernama Raden Mas Tirto Adhi Soerjo siswa HBS (Hogere Burger School) di Surabaya, sekolah yang hanya diperuntukan orang Eropa dan anak priyayi. Namun ia hanya mengenakan nama Minke, tanpa nama belakang.

Film dibuka dengan adegan Robert Suurhorf (Jerome Kurnia) yang menggedor pintu kamar kos Minke. Suurhorf, kawan sekelasnya laki-laki berdarah Eropa dan arogan, mulanya mengajaknya menyaksikan perayaan pengangkatan Ratu Wihelimina. 

Setelah menyaksikan perayaan, Minke diajak ke tempat kawannya Suurhorf, Robert Mellema (Giorgino Abraham), di sebuah Boerderij Buitenzorg (Perusahaan Pertanian) di Wonokromo. Keduanya penggemar klub sepak bola yang sama. Di sana ia bertemu Nyai Ontosoroh dan adiknya Robert, Annelies (Mawar Eva de Jogh).

Berbeda dengan kakaknya yang ingin "mengusir" darah pribumi, Annelies justru seperti ibunya Nyai Ontosoroh menjadi Jawa Tulen. Minke dan Annelies saling jatuh cinta. Sekalipun Sang Ibu mendukung mereka, cinta mereka berhadapan dengan sistem sosial dan hukum kolonial. Terlebih setelah Herman Mellema ditemukan tewas di Rumah Candu sekaligus rumah bordir milik Babah Ah Tjong.

Tragedi ini membuat Nyai Ontosoroh berhadapan dengan pengadilan Eropa. Terlebih dia juga harus menghadapi gugatan anak Herman bernama Maurits, yang menuntut harta kekayaan ayahnya. Sebagai istri yang dianggap tidak dinikahi secara sah, membuat Ontosoroh tidak punya hak apa pun terhadap harta kekayaan Herman.

Minke melawan dengan tulisan di surat kabar, termasuk ketika pernikahannya dengan Annelies ikut terancam. Dalam tulisannya menghadapkan hukum pernikahan Islam (di mana dia menikah secara agama dengan Anelies) dengan hukum kolonial. Hal yang memancing amarah para pemuka agama Islam, ketika itu dibatalkan para pejabat.

Sekalipun untuk sepak terjangnya membuatnya berhadapan dengan tembok keraton ayahnya yang menjabat bupati.

Pandangan Minke pun berubah dari seorang yang tadinya kagum terhadap peradaban Eropa menjadi muak terhadap praktik perbudakan hingga diskriminasi ras. Dia menyadari nama Minke dipelesetkan dari monkey (monyet) dari guru Bahasa Belandanya dulu bukan hanya guyonan biasa, tetapi berkonotasi penghinaan bagi pribumi. 

Salah satu kemuakannya ialah ucapannya pada ibunya sambil sungkem, "Saya ingin jadi orang Bebas Bu, Orang yang tidak diperintah dan tidak juga memerintah."

Menyentuh.

Latar Belakang Sejarah
Bagi saya "Bumi Manusia" dengan setting akhir abad ke 19 merupakan daya tarik pertama saya mau datang ke bioskop dan menonton film ini. Apa yang terjadi akhir abad ke 19 ini? Di satu sisi tidak semua wilayah Nusantara bisa diduduki Belanda, di antaranya Perang di Aceh, Perang di Tanah Batak masih berkecamuk.

Perang Aceh ini diceritakan sekilas lewat tokoh Jean Marais seorang pelukis dari Prancis, yang terdampar ke Hindia Belanda dan menjadi serdadu dan dikirim ke Aceh. Di sana ia menjalin cinta dengan seorang perempuan Aceh dan mempunyai anak bernama May. Sayang kekasihnya dibunuh saudaranya sendiri, karena dianggap pengkhianat.

Cerita dimulai pada 1898 ketika Wihelmina dinobatkan sebagai Ratu pada usia 18 tahun dan kecantikannya populer, Minke juga digambarkan menyimpan fotonya. Pada masa itu kritik pedas terhadap akibat penjajahan, seperti tanam paksa sudah menjadi isu di antaranya oleh Max Havelaar, yang bukunya terlintas di film ini.

Tanam paksa sendiri sudah dihapuskan pada 1870 (kecuali Priangan baru pada 1917) dan digantikan oleh ekonomi liberal yang mengakibatkan sejumlah ondeneming (tuan tanah pemilik perkebunan/pertanian) bermunculan. Kalau dikaitkan dengan setting sejarah Herman Mellena ini adalah salah seorang onderneming.

Sejarah mencatat Wihelmina ini akhirnya mendeklarasikan secara resmi politik etis pada 1901. Politik ini memberikan tiga hal buat pribumi seperti irigasi, imigrasi dan edukasi. Sayangnya poltik etis ini justru untuk keuntungan penjajahan, irigasi untuk perkebunan swasta, imigrasi memindahkan penduduk jadi tenaga murah bagi perkebunan di luar Jawa dan eduksi untuk mendidikan tenaga terampil dengan gaji murah.

Kembali ke akhir abad 19, para pejabat kolonial dan orang Belanda terbelah memandang pribumi, sebagian masih memandang aksta yang rendah, tetapi sebagian lagi berpandangan humanis dan ingin menyejaterahkan pribumi. Dalam "Bumi Manusia" diwakili oleh Asisten Residen Herbert de La Croix. Ketika mengetahui kecerdasan dan visi Minke, ia pun bersimpati.

Diskriminasi terhadap pribumi dirasakan Minke mulai dari diusir dari kafe yang sebetulnya ada tulisan anjing dan pribumi dilarang masuk, sikap Herman Mellena yang menyebutnya monyet, hingga peradilan yang diskriminatif. Hal ini digambarkan dengan baik oleh Hanung Bramantyo.

"Bumi Manusia" mengkritik praktik pergundikan. Demi uang dan dapat bekerja di pabrik, seorang bapak tega menjual anaknya untuk jadi gundik Belanda. Ontosoroh masih berusia 14 tahun ketika dijual oleh Bapaknya seharga 25 gulden.

Saya penasaran berapa nilainya ketika dikonversikan sekarang? Mengingat yang pernah saya baca gaji pegawai baru lulus ada yang sekitar 40 gulden. Uang 25 gulden itu saya taksir sekitar Rp1,5 hingga Rp2,5 juta. Konversi berdasarkan harga beras dan gula premium. Murah.

Praktik pergundikan ini fenemona sosial abad ke 19 dalam sejarah sosial Hindia Belanda. Pada waktu itu kebanyakan orang Eropa yang datang adalah laki-laki. Karena kesulitan mencari pasangan hidup ini mereka hidup bersama dengan perempuan pribumi-yang kerap dilakukan secara paksa-dan tentunya ilegal secara hukum. Hal hasil citra Nyai menjadi buruk di mata pribumi.

Akhir abad 19 surat kabar menjadi sarana mengungkapkan isu-isu tersebut. Minke digambarkan punya bakat menulis dan lewat tulisannya dia menggalang simpati. Para pembaca Pram yang berminat sejarah mengubungkan tokoh ini dengan Tirto Adhi Soeryo, perintis pers Indonesia, sekaligus juga salah satu perintis Sarekat Islam. Sekalipun Pram menyebutnya karyanya sebagai fiksi, tetapi dia mengambil inspirasi dari sosok tokoh itu.

Dari setting sejarah Hanung berhasil menggambarkan situasi masa itu dan juga sekaligus mengadaptasi novel karya Pramoedya Ananta Toer ini dengan baik dengan bahasa visual. Saya nggak akan membahas perbandingan novel dan filmnya karena sudah banyak ditulis. Busana, alat transportasi yang digunakan, pemakaian bahasa digarap cukup apik.

Dari sisi setting sejarah, saya cukup puas.

Ine Febriyanti dan Mawar Eva de Jongh-Foto: Falcon Pictures/Suara.com
Ine Febriyanti dan Mawar Eva de Jongh-Foto: Falcon Pictures/Suara.com

Mawar Eva De Jongh
Dari departemen kasting saya tidak meragukan Sha Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh. Ya, di dunia teater dia sudah memainkan karakter itu. Wajarnya dari cara berbahasa, gestur tubuh, mimik, sorot mata, semuanya memukau. Wow! Termasuk sapaannya terhadap menantunya Minke: Nyo (sinyo), kita sudah melawan nyo! Begitu menyentuh. Saya kira Ine potensial setidaknya menjadi salah satu nominasi Piala Citra untuk 2019 ini.

Iqbaal Ramadhan masih terlihat Dilan-nya ketika menggombali Annelies. Tentunya ditambah Bahasa Jawa-nya yang medok. Tetapi mungkin itu dilepas oleh Hanung Bramantyo agar film ini ditonton oleh generasi milenial. Faktanya, iya. Penonton di sebelah dan di depan saya di sebuah bioskop di kawasan Depok dari generasi itu mengaku datang ke bioskop karena Iqbaal.

Yang saya tunggu dan alasan kedua membuat saya mau datang ke bioskop menonton film ini ialah Mawar Eva de Jong sebagai Annelies. Perannya sebagai Kania dalam sinetron "Dia yang Tak Terlihat" yang tayang tahun lalu membuat saya terpikat dengan karakter ganda sebagai hantu yang gelisah dan perempuan karir. Saya coba lihat akting dara kelahiran 2001 ini dalam film "Serendipty". Lumayan, walau tidak terlalu istimewa.

Bagaimana dengan "Bumi Manusia"? Saya melihat seorang perempuan yang kekanak-kanakan, manja, tetapi punya keinginan kuat menjadi pribumi. Chemistry-nya pada Iqabaal cukup kuat. Adegan dia dicium, lalu melongo, kemudian ketika ibunya meminta Iqbaal menciumnya lagi sangat orisinal. Mimiknya itu. Juga adegan mereka berkasih-kasihan dan reaksi orang sekitar lucu dan menghibur.

Saya puas dengan tiga karakter utama film ini. Karakter yang lain juga memikat. Termasuk juga pemeran Darsam, centeng yang setianya bukan main pada Nyai Ontosoroh dengan logat Maduranya. Begitu juga dengan karakter Jan Dapperste yang kemudian mengubah nama jadi Panji Darman, kawan sekelas Minke yang sejak awal sebangun idenya menjadi pribumi.

Secara keseluruhan "Bumi Manusia" adalah tontonan yang berisi, menambah wawasan, tetapi juga memberikan hiburan. 

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun