Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Muhammad Ali, Petinju yang Menjadi Budaya Populer

5 Juni 2016   16:43 Diperbarui: 5 Juni 2016   16:46 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhamad Alid Jakarta 1973 (kredit foto https://iwandahnial.files.wordpress.com

Sing, Muhammad, Muhammad Ali/He floats like a butterfly and stings like a bee/Mohammed, the black superman/Who calls to the other guy I'm Ali catch me if you can Demikian petikan lirik lagu berjudul “Black Superman” yang dipopulerkan penyanyi Inggris Johnny Wakelin pada 1975. Lagu yang jelas mengungkapkan kharisma petinju legendaris kelas dunia Muhamad Ali. Lagu itu menjadi salah satu dari lagu perpisahan yang dinyanyikan kawan-kawasan saya sewaktu masih duduk di Bangku SD pada 1980.

Setiap siaran langsung pertandingan tinju Ali, saya dan teman-teman se-SD saya tidak pernah melewatkan. Bahkan guru SD saya di kelas lima pernah meliburkan satu kelas, sekitar jam sepuluh pagi seingat saya agar bisa menonton pertandingan tinju. Jalan di kampung saya di Tebet, Jakarta menjadi sepi ketika Ali bertanding. Pertandingan tinju yang melibatkan Ali bukan saja sekadar hiburan, tetapi memberikan pesona sendiri bagi penggemarnya. Masih teringat di kepala saya teman-teman SD saya betriak-teriak: Ali, Ali.

Era 1970-an, pertandingan tinju kelas berat tidaklah selalu berlangsung pada akhir pekan. Siaran langsung justru terjadi pada jam-jam kerja dan sekolah. Tidak heran banyak karyawan atau anak sekolah yang madol (mangkir) untuk menyaksikan pertarungan ini. Pada masa itu hanya ada TVRI dengan siaran hitam putih (televisi berwarna baru muncul sekitar 1976), televisi hidup dengan tenaga baterai aki atau genertaor diesel bahkan di Jakarta sekalipun, karena listrik masih terbatas.

Muhammad Ali pertama kali menginjakkan kaki di bumi Indonesia. Oktober 1973. Pada 20 Oktober 1973, Ali menghajar lawannya, Rudi Lubbers, selama 12 ronde dalam pertandingan kelas berat tanpa gelar di Istora Senayan, Jakarta. Sekalipun publik dan pers Indonesia, pertandingan Ali vs Lubbers disebutkan sebagai pertandingan eksibisi, namun nyatanya ini adalah pertandingan resmi, walau tidak memperebutkan gelar (sumber)

Betul, di Indonesia petinju yang lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay, Jr pada 17 Januari 1942, mengubah namanya menjadi Muammad Ali ketika memutuskan memeluk agama Islam pada 1964 (Tahun 1975, Ali mengikuti ajaran Sunni) bisa jadi salah satu faktor menjadikan populer. Tetapi faktor memeluk agama Islam ini tidak lantas menjadi Mike Tyson sepopuler Ali. Berarti ada hal lain yang menjadikan Ali menjadi ikon pop culture.

Seperti yang ditulis wartawan Rolling Stones, Tim Grierson edisi online pada 4 Juni 2016 lalu, kesan ganas, lucu dan lisan seperti dinamo, membuat Muhammad Ali adalah salah satu dari sedikit orang yang berharga yang dapat mengklaim untuk menjadi atlet terbesar abad ke-20. Namun sebetulnya bukan saja dominasinya di ring tinju yang membuat Ali menjadi populer, tetapi sikap politiknya yang menolak Perang Vietnam membuat juara dunia kelas berat tiga kali ini tidak hanya berdiri di atas panggung olahraga, tetapi juga lanskap budaya pada umumnya. Ali pernah diskor pada 1967 hingga 1970 dan pernah masuk penjara karena sikap politiknya. Pada 1963 saat masih bernama Cassius Clay, ia pernah merilis album “I am The Gratest”, pernah dijadikan tokoh komik Marvel disaingkan dengan Superman pada 1978.

Sebagai catatan sikap anti perangnya Ali dengan kondisi menderita Parkinson menemui Presiden Irak, Saddam Husein pada 1990, ketika 15 warga Amerika dijadikan sandera, setelah Irak menyerbu Kuwait. Sekalipun obat Parkinsonnya habis, Ali tetap bertahan di Baghdad. Selama menunggu jawaban, dia mengunjungi banyak masjid dan berbicara dengan penduduk lokal di sana yang memang sangat mencintainya dan kagum kepadanya,hingga akhirnya Saddam Husein luluh dan membebaskan para sandera (Sumber )

Pada 4 Juni WIB lalu legenda tinju dunia, Muhammad Ali, dinyatakan meninggal dunia, akibat komplikasi penyakit parkinson yang dideritanya. Namanya tercatat dalam sejarah sebagai ikon tidak saja dalam sejarah olahraga dunia, tetapi juga politik dan budaya populer.

Irvan Sjafari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun