Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Review "Lewat Djam Malam:" Malam Kelam di Kota Bandung

25 Juni 2012   07:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13406088842030280396

[caption id="attachment_196950" align="aligncenter" width="300" caption="Adegan Lewat Djam Malam. Percakapan antara Iskandar (AN Alcaff) dan Nourma (Netty Herawati).  Sumber Foto: Actionmag.zom"][/caption]

Judul  Film           :  Lewat Djam Malam

Sutradara            :  Usmar Ismail

Bintang                 :  AN Alcaff,  Netty Herawati, Dhalia, Bambang Hermanto, Rd Ismail, Awaludin, Titin Sumarni, Aedi Moward

Rated                    :  **** (excellent)

Menjelang tengah malam di tengah kota Bandung pada 1950 seorang pria melangkah dengan tergesa-gesa.  Dia melihat poster di dinding berisi pengumuman jam malam perintah Letkol Sentot Iskandar Di Nata, pimpinan Militer Kota Bandung  waktu itu.  Pria itu berhasil menghindari patroli CPM dan tiba di sebuah rumah ternyata rumah tunangannya Nourma (Netty Herawati).  Pria itu adalah Iskandar (AN Alcaff) mantan pejuang yang baru turun gunung.

Opening scene dari Lewat Djam Malam yang sudah cukup memberi tahu apa yang terjadi pada penonton.  Tokoh utamanya adalah mantan pejuang yang belum tahu apa yang harus dilakukan setelah perang kemerdekaan berakhir. Masih ada ribuan orang seperti Iskandar  di seluruh Indonesia pada masa itu. Setting film dari Usmar Ismail ini saya taksir antara Januari hingga Juni 1950 kira-kira masa   Sentot memimpin militer kota Bandung, karena sesudah itu adalah Omon Abdulrachman.

Film ini  masa kejadiannya hanya dua hari, yaitu tanggal 11 dan 12  disimak dari pembicaran para tokohnya dan kalender tanggalan di kantor Gunawan, salah seorang tokoh dalam film itu. Diceritakan Iskandar dicarikan kerja oleh calon mertuanya di Kantor Gubernuran. Namun apa daya dia gagap ditempatkan di bagian pekerjaan umum karena terlalu lama di gunung.  saya miris melihat adegan seorang bekas pejuang dipandang sebelah mata oleh orang-orang kantor pemerintah yang sudah sempit dan kemudian tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

Iskandar kemudian mencari bekas kawan-kawannya, di antaranya Gaffar (Awaluddin) yang sudah menjadi pemborong, Gunawan (Rd Ismail)  mantan komandannya   yang sudah jadi pebisnis dan Pudja (Bambang Hermanto) kawan yang lain yang menjadi centeng rumah bordil.  Terungkap bahwa  iskandar menjadi trauma karena dulu disuruh menembak satu keluarga pengungsi dari Jakarta atas perintah Gunawan.  Ternyata Gunawan merampas perhiasan keluarga itun dandijadikan modal bisnisnya sekarang.   Iskandar kemudian menjadi galau dan bertindak main hakim sendiri.  Sekalipun tindakannya berakibat fatal bagi masa depannya dan bagi keselamatan dirinya sendiri.

Dari segi sinematografi dan cerita, Lewat Djam Malam adalah film terbaik pada masanya. Ditayangkan pada 1954 dan ditayangkan kembali setalah direstorasi pada 21 Juni 2012 hanya di satu bioskop yaitu Senayan Jakarta.  Film ini merupakan sebuah kritik sosial tenatng nasib pejuang dan juga bekas pejuang yang beruntung bisa mendapatkan manfaat.  Sejarah mencatat mereka yang berjalan lurus justru kerap terbuang.

Dialog antara Pudja dan Iskandar adalah salah satu adegan yang saya suka.  “Orang seperti kita ini hanya dianggap sampah?” cetus Pudja. Diceritakan kawannya ini menghabiskan waktu main bilyar, masang lotre (pada 1950-an dilakukan secara manual bahkan hingga 1970-an),  serta menjaga lonte bernama Laila . Nasib pelacur ini tak kalah mirisnya ditinggal suami dan mengharapkan sebuah rumah tangga yang damai dan tak kunjung dia dapatkan.

Tokoh bernama Laila ini sehari-hari selain melayani laki-laki silih berganti dia kerap mengunting gambar-gambar dari Majalah Life (Majalah gaya hidup masa itu) , seperti sendok dan perabot rumah tangga yang dia harap dapat dia punya.  Satu-satunya hiburan baginya.  Ketika klipping ini disobek oleh Pudja menjelang akhir cerita, Iskandar pun berang dan menampar rekan seperjuangannya itu.

Lewat Djam Malam memberikan saya gambaran kota Bandung masa itu.  Masa yang lebih kelam. Siang hari, tampak aman. Terlihat suasana Jalan Braga dengan keramaian toko-tokonya. Ada toko Olympia, menurut data yang saya punya pada waktu itu  menjual produk barang mewah seperti arloji.  Lewat adegan Nourma berbelanja dan mengundang  teman-temannya berpesta menyambut kedatangan Iskandar  saya melihat aneka kue dan bonbon masa itu dijaja Rp 1,5 rata-rata per kg (atau ons?) , becak, sepeda berseliweran di antara mobil dan jip.   Adegan pertemuan Iskandar ada potongan iklan Bir Hitam Cap Serimpi, Jamu Cap Jago.  Kelihatannya orang di kota senang-senang saja.

Namun pada malam hari suasana mencekam. Faktanya memang angka kriminalitas tinggi, baik itu gerombolan bersenjata yang tidak hanya Darul Islam, tetapi juga garong bersenjata kerap masuk kota.  Wajar kalau patrol CPM setelah tembakan peringatan langsung tembak ke orang yang lari, karena tidak ada jaminan mereka juga tidak akan ditembak. Pada waktu itu senjata api liar beredar di mana-mana.

Juga sudut kota Bandung yang masih ada hingga sekarang yaitu jalan di bawah jembatan kereta api dari arah Cicendo kemudian melalui pertigaan  ke arah Suniaraja-Braga dan satu lagi ke Jalan Jawa. Pada waktu itu alun-alun kerap menjadi pasar malam ((tentunya harus bubar sebelum jam malam).  Hingga adegan Iskandar harus berlari di tengah kejaran tentara melalui perumahan besar kemungkinan daerah Cipaganti-Cihampelas.

Saya beruntung sempat menyaksikan film ini di Plaza Senayan Minggu 24 juni kemarin,  -dulu masih kecil pernah nonton juga di televisi.   Benar-benar mahakarya Usmar Ismail.  Sebetulnya masih ada karya lain seperti Tiga Dara yang ingin saya tonton lagi.  Saya menghimbau kepada sineas Indonesia kalau memang kehabisan ide bikin film, mengapa tidak remake saja film-film 1950-an?

Irvan Sjafari

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun