Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tasikmalaya, Garut dan Pendakian Papandayan Akhir Abad ke-19: Pengalaman Seorang Penulis Geografi

11 April 2014   20:54 Diperbarui: 2 Desember 2015   14:37 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Bandung adalah ibukota Keresidenan priangan dan tempat tinggal bupati pribumi dan residen Belanda. Rumah bupati katanya terletak di tengah kota yang disebut dalem atau istana . Dia juga punya sebuah vila di pinggiran kota dengan arsitektur gaya Eropa. Dekat villa itu terdapat kandang kuda. Bupati diceritakan kerap memenangkan piala dalam beberapa kejuaraan di Bogor dan Bandung. Bila dilihat dari sejarahnya Bupati Bandung yang dimaksud oleh Eliza Scidmoore dalah R.A.A. Martanegara yang memerintah pada 1893 hingga 1918.

 

Eliza melukiskan para laki-laki ada yang mengenakan (seperti) pakaian jacket militer dipadu dengan kain sarung dengan keris di belakang punggungnya (kemungkina para menak atau pamongpraja). Anak-anak pribumi digendong ibunya dengan selendang. Eliza juga menyaksikan kerbau dan sapi berkubang sehabis membajak sawah dan kemudian diberi jerami. Anak-anak laki kecil bertelanjang dada kulitnya kecoklatan diterpa mataharisehingga mereka mirip seperti patung perunggu. Sayang Eliza tidak menceritakan detail suasana kota Bandung mungkin dia tidak berkeliling kota.

 

Eliza juga memberikan informasi yang didengarnya tentang piramid di Gunung Haruman, Garut yang diyakini dari masa lalu. Jadi sebetulnya heboh pyramid di Garut saat ini juga sudah dibicarakan pada akhir abad 19. Sayangnya Eliza lebih tertarik untuk melihat Borobudur dan Prambanan yang tidak saya lihat sekarang. Nama tempat seperti Rajamandala (Cianjur), Cijeruk, Cibeber, Ciranjang juga disinggung dalam buku ini. Namun saya hanya mengupas apa yang dilihat Eliza di Tasimalaya, Garut dan Papandayan.

 

 

[caption id="attachment_331210" align="aligncenter" width="300" caption="Eliza Ruhamah Scidmoore (kredit foto wikipedia)"]

13971990702016818328
13971990702016818328
[/caption]

 

 

Kerajinan Tangan di Tasikmalaya

 

Sebelum ke Jawa Tengah Eliza singgah di suatu kota yang ditulisnya dengan nama Tissak Malaya, nama yang disebutnya untuk Tasikmalaya. Kereta api dari Bandung melewati tempat yang disebutnya Tjihondje (Cihonje) dan Radjapolah, berhenti tetapi satu menit di Indihiang sebelum tiba di Tasikmalaya senja hari atau sekitar pukul enam. Itu artinya stasiun Cihonje, Rajapolah, Hindihiang sudah eksis setidaknya akhir abad ke 19.

 

Setibanya di Tasikmalaya, Eliza melukiskan perjalanan menuju tempat peningapan. Dia melalui jalan yang berputar melalui lapangan yang gelap menuju Pessangrahan (tempat menginap atau peristirahatan yang dikelola pemerintah). Biasanya para tuan tanah suka menginap di tempat ini.Transportasi utama adalah sado. Penduduk bahkan supir sado sendiri diceritakan suka berjongkok- kalau ada bangsawan yang lewat. Bagi Eliza situasi seperti itu membuat dia seperti merasa berada di negeri yang aneh.

 

Ketika memasuki pesanggrahan ia melihat ada ruang terbuka yang besar di bawah serambi. Ruang tamu biasa dengan meja besar dan lampu untuk membaca. Kursi-kursi dengan sandaran panjang.Dari sana ada lorong panjang menuju ruang perjamuan (makan). Kamar tidur luasnya dua puluh meter persegi, tinggi dari lantai ke langit-langit kamar 20 kaki. Kamar mempunyai tempat tidur berukuran 7 x 9 kaki.

 

Pagi hari ketika keluar dari passangrahan, Eliza melihat pasar setengah mingguan digelar di tempat terbuka depan Pesanggrahan. Yang dijual antara lain buah-buahan, bunga, sarung, surban, lada, selendang, kerajinan tangan. Bunga yang dijual mulai dari melati, mawar. Eliza merogoh kocek tiga sen gulden untuk bunga melati dan mawar.

 

Komoditi lain yang dijual adalah botol buatan sendiri berisi air mawar dan melati, selendang dan saputangan dibordir dengan warna-warna kuat merupakan kerajinan tangan setempat. Sarung kemungkinan dibawa dari Jawa Tengah. Yang menarik Eliza melihat para penjahit –sekitar 30 hingga 40 berbaris rapi di bawah naungan pohon kenari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun