18.347
19.939
Sumber Tabel I dan II Pikiran Rakjat 13 Agustus 1957
Pemilihan Umum di Jawa Barat untuk Tingkat I dan II ini diwarnai dengan laporan-laporan kecurangan yang menuding suatu partai mencapai kemenangan yang luar biasa. Namun pemilihan ulang hanya dilakukan di beberapa daerah. Untuk Kotapraja Bandung dan Kabupaten Bandung tidak ada perubahan signifikan dari sgei kekuatan politik.
PKI menempatkan 11 wakilnya untuk DPRD kotapraja Bandung, disusul PNI 7 kursi, Masyumi 5 kursi, NU 2 kursi, serta sejumlah partai seperti PSI, PSII, PRIM, Murba, Baperki, GPPS, Parkindo, P3RI, GERPIS dan PTI masing-masing satu kursi. Di antara nama yang terkemuka adalah Oja Sumantri (Masyumi. Politisi ini pernah dicalonkan sebagai Gubernur Jawa Barat. Nama lain adalah Rasiban Wiriasomantri mewakili PTI, yang pernah menjadi anggota PNI pada 1927 dan pernah menjadi ketua PNI Bandung pada masa pergerakan, serta Mohammad A Hawardi dari PNI (Pikiran Rakjat 19 Oktober 1957 lihat juga http://rasibanwiriasomantri.blogspot.com diakses pada 22 Januari 2015 ).
DPRD Kotapradja Bandungdipimpin kembali oleh Mohammad A.Hawardi (PNI) –yang pernah menjabat DPRDS Kotapraja Bandung sebelum Pemilu- dengan Wakil ketua I H. Sobandi (Masyumi) dan Wakil ketua II Teddy Kardiman Wiraatmadja (PKI). Hawardi dicalonkan oleh PNI mengalahkan calon lainnya E. Sasmita (PSII) yang didukung juga oleh politisi Parkindo dan PSI (Pikiran Rakjat, 30 Oktober 1957).
Terlepas dari kontroversi adanya kecurangan, hasil pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat Tingkat I dan Tingkat II di Jawa Barat ini melahirkan pertama kalinya dalam sejarah Jawa Barat-juga sejarah Indonesia-kepala daerah dipilih melalui DPRD hasil pemilihan umum.
R.Prijatna Kusumah dan Kamawidjaja
Setelah meninggalnya Mohammad Enoch pada April 1957 seperti yang saya singgung dalam http://sejarah.kompasiana.com/2014/10/17/bandung-1957-1-ketegangan-politik-pusat-daerah-dan-pergantian-pimpinan-politik-dan-militer-di-jawa-barat--696220.html diperlukan waktu beberapa bulan untuk mencari pengganti Wali Kota Bandung.
Dalam Sidang DPRD Kotapraja Bandung pada 23 November 1957 R Priyatna Kusumah (Pikrian Rakjat pada 1957 menuliskan dengan nama Prijatnakusumah, sumber kontemporer menulis Priatna Kusumah) yang diusung PNI terpilih sebagai Wali Kota Bandung dengan 23 suara mengalahkan Male Wiranatakusumah yang mendapatkan 11 suara. Yang menarik Priyatna Kusumah didukung oleh fraksi nasional, Islam dan komunis. Suatu hal yang sukar terjadi pentas politik nasional masa itu.
Sebelum menjadi wali Kota Bandung, kelahiran Wanajasa, di lereng gunung Buktunggul ini menjabat Bupati Tasikmalaya. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah rendah, MULO, Priyatna mausk OSVIA dan lulus pada 1926. Jabatan yang pernah disandangnya antara lain Mantri Polisi di Bandung, Camat Mandalawangi, Banten, pernah menjadi Wali Kota Cirebon. Jasanya antara lain menata kota bandung dengan membaginya menjadi empat kewedanaan (Pikiran Rakjat, 25 November 1957).
Beberapa hari sebelumnya pada 20 November 1957 Sidang Pleno Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Suwendi Sumawiguna berhasil memilih politisi Masyumi Mas Sujud Kamawidjaja1 sebagai Kepala Daerah Kabupaten Bandung menggantikan R. Apandi Wiradiputra. Sujud Kamawidjaja didukung 23 suara setuju dan 11 blanco dari PKI dan tiga partai kecil Permai, PRIM dan PSI. Kamawidjaja menajdi calon tunggal setelah Apandi Wiradiputra menarik diri. Jalan pemilihan hangat dan tegang karena maneuver yang dilakukan oleh PKI yang memajukan calon setelah masa pencalonan ditutup. PKI mencalonkan kadernya Okes Natasasmita, Kepala Urusan Pegawai Pamongpraja Kabupaten Bandung.
[caption id="attachment_392588" align="aligncenter" width="300" caption="Sujud Mas Kamawidaja (kredit foto Pikiran Rakjat, repro Irvan Sjafari)"]
Mas Sujud Kamawidjaja menjabat Wakil ketua DPRDS Jawa Barat selama enam tahun. Kelahiran Banjaran 1913 ini pernah menjabat Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten sumedang, anggota Konstituante mendapat pendidikan di Sekolah Teknik Menengah. MS Kamawidaja menguasai empat bahasa asing dan terutama fasih berbahasa Inggris. MS Kamawidjaja aktif di Muhamadyah, selain tokoh Masyumi di Kabupaten Bandung. (baca Pikiran Rakjat, 21 November 1957). MS Kamawidjaja juga aktif sebagai Muhamadyah Priangan pada 1950-an (lihat http://jabar.muhammadiyah.or.id/content-128-sdet-sejarah-perkembangan.html)
Pada 19 Desember 1957 Kamawidaja dialantik dan diambil sumpahnya di ruang sidang DPRD Kabupaten Bandung. Dalam pidatonya Kamawidaja antara lain menyatakan bahwa dalam rangka realisasi otonomi dan pemecahan pamongpraja dihitung bersarkan kemampuan daerah. Ia berharap kebijakan pemerintah pusat jangan sampai merugikan pamongpraja dalam kenaikan pangkat. Ikut memberikan sambutan mantan Bupati Bandung Apandi Wiradiputra bahwa terpilihnya Kamawidjaja mengakhiri era otokrasi dan feodalisme. Gubernur Jawa Barat Ipik Gandamana menyebutnya sebagai langkah dalam realisasi pendemokrasian. (Pikiran Rakjat, 20 Desember 1957).
Apa yang diungkapkan Mamawidjaja ini sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan politisi Masyumi jawa Barat bahwa sesuai keputusan Musyawarah nasional pamongpraja diberbentukan kepada daerah status kepegawaiannya maish tetap pegawai pemerintah pusat seperti halnya beberapa jawatan di jawa Barat masa itu (Pikiran Rakjat, 21 Oktober 1957).
Bandung Diusulkan sebagai Ibukota Negara
Terpilihnya Prijatnakusumah dan Kamawidjaja bersamaan dengan mencuatnya kembali usulan Bandung sebagai ibukota yang sudah diwacanakan sejak 1950-an awal. Dalam Pikiran Rakjat 23 September 1957 Ir. Liem Khe Lien, Kepala Djawatan TEknik B drai Kotapraja Bandung bersama dengan Wali Kota R.H. Enoch, Prof.Ir. Thijsse (guru besar Fakultas Teknik) menyusun sebuah nota dan blueprint ibukota. Menurut mereka tidak ada yang mempunyai bahan-bahan plannnologi selengkap Bandung. Bleuprint ini disebutkan sudah ada dalam “laci” Presiden Soekarno.
Dalam nota itu disebutkan beberapa ratus hektar tanah kepunyaan kotapraja dan berapa puluh hektar tanah milik partikulir yang bsia dicadangkan untuk bangunan besar seperti Gedung Kepresidenan, Gedung Parlemen, Gedung Kementerian hingga gedung-gedung untuk perwakilan luar negeri. Tanah yang disebut dicadangkan itu pada 1957 ternyata adalah tanah yang disediakan untuk bangunan Universitas Padjadjaran. Hingga akhir 1957 tanah ini masih diduduki sejumlah penduduk secara tidak sah.
Mohammad Hawardi, anggota parlemen DPRD Kota Bandung mengingatkan bahwa Kota bandung menjadi ramai, perdagangan akan lebih luas, warga Bandung akan bangga. Tetapi di sisi lain membaaw konsekuensi sosial seperti terdesaknya warga yang lemah, serta meningkatnya biaya kehidupan warga kota. Dia menyebtukan perlu dikaji apakah status menjadi ibukota RI menguntungakn warga kota Bandung atau justru merugikan.
Budi Setiyono dalam tulisannya “Ibukota Baru (3) Mimpi Dua Kota dalam http://historia.co.id/?d=912 dimuat pada 19 April 2010 menyebutkan gagasan Bandung sbeagai ibukota bemrula jauh sebelum itu. Sebuah studi tentang kesehatan kota-kota pantai di Pulau Jawa oleh Hendrik Freek Tillema, seorang ahli kesehatan Belanda yang bertugas di Semarang, menyimpulkan: “Kota-kota pelabuhan di pantai Jawa yang tak sehat menyebabkan orang tidak pernah memilih sebagai kedudukan kantor pemerintah, kantor pusat niaga dan industri, pusat pendidikan, dan sebagainya.” Tilema menyebut kota-kota pelabuhan hawanya panas, tidak sehat, mudah terjangkit wabah. Hawa tak nyaman membuat orang cepat lelah, semangat kerja menurun. Tak terkecuali Batavia, kota pelabuhan itu kurang memenuhi syarat sebagai “pusat pemerintahan” ibukota Hindia Belanda.
Problem Ekonomi Kota
Kota Bandung sendiri pada 1957 menghadap problem yang menyangkut sosial ekonomi yang cukup berat. Di antaranya adalah dominasi rumah dan toko yang baru dibangun justru masih dikuasai asing. Pada Juli 1957 diadakan pertemuan segitiga antara KENSI Jawa Barat, pihak kontraktor (aanemer masa itu), serta pihak pemerintah di Ruang Sidang DPRDP Kotapraja Bandung. Achmad Sanusi, Sekretaris Kensi Jawa Barat meminta kontraktor memberikan kelonggaran kepada pengusaha nasional asli.
Para kontrakror berkeberatan untuk diberikan kepada pengusaha nasional asli karena sudah ada perjanjian sebelum toko dibangun. Pada Juli 1957 sebanyak 50 toko baru yang dibangun sudah terisi. Seorang anggota parlemen bernama Djohari memberikan usulan pada kontraktor bahwa bantuan kepada pengusaha nasional dengan perbandingan, misalnya satu di antara empat buah toko yang dibangun diperuntukan pengusaha nasional (Baca Pikiran Rakjat 9 Juli 1957)
Hingga 1957 dominasi pengusaha asing begitu kuat di Kota Bandung. Pengusaha nasional hanya muncul satu dua orang dalam berbagai bidang. Untuk apotik misalnya pada Oktober 1957 dibuka Apotik Pasar Baru dengan Direkturnya Wiranata yang disebutkan sebagai apotik pertama yang dimiliki atas usaha nasional. Apotik ini merupakan apotik yang 15 berada di kota Bandung (baca Pikiran Rakjat, 10 Oktober 1957).
Masalah perumahan liar merupakan problem berat lainnya yang harus diselesaikan pemeirntahan Kota Bandung. Pada Oktober 1957 dalam sidangnya Dewan Kotapraja Bandung. Pemegang kekuasaan militer KMKB Bandung mengelaurkan larangan pemakaian tanah orang lain tanpa izin dan menggunakan tanah orang lain dengan cara serobot. Laporan hasil sidang meminta agar tindakan pihak berwajib kepada kontraktor yang memebrikan izin dan bukan hanya penghuni perumahan liar. Sidang penuh sesak dengan simpatisan PKI yang banyak menjadi penghuni liar (Pikiran Rakjat, 21 oktober 1957).
Pada awal November 1957 harga kebutuhan bahan pokok melambung tinggi di Kota Bandung. Harga beras di pasar baru untuk kwalitas I sudah mencapai Rp5,30 per Kg-nya dan yang paling murah Rp5,10/kg (Pikiran Rakjat 1 November 1957) Harga beras itu meningkat tajam pada Desember 1957 menjadi Rp7,50 untuk kualitas terbaik per Kg-nya dan Rp 6,25 terendah di pasar (Pikiran Rakjat, 11 Desember 1957). Kurangnya pasokan beras, permainan pedagang beras merupakan permasalahan yang terus berulang. Pada 10 Desember 1957 Polisi ekonomi Bandung mensita 2 ton beras yang diangkut ke luat kota Bandung secara tidak sah (Pikiran Rakjat, 11 Desember 1957). Kenaikan harga beras dikhawatirkan akan membuat tidak terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah, terutama yang upah hariannya jauh di bawah harga beras.
Irvan Sjafari
1.Nama Mas Sujud Kamawidaja seperti menghilang dalam sejarah Kabupaten Bandung. http://www.bandungkab.go.id/arsip/2406/bupati-rmemed-ardiwilagaba-periode-1960-1967 tidak menyebutkan nama MS Kamawidaja.Setelah R. Apandi Wiriadipura sebagai Bupati ke 17 yang dijabatnya hanya 1 tahun (1956-1957), bupati berikutnya adalah Letkol R. Memet Ardiwilaga (1960-1967). Jadi menimbulkan tanda tanya besar ada apa antara 1957 hingga 1960 sedang saya telusuri sampai saat tulisan ini diturunkan.