[caption id="attachment_354862" align="aligncenter" width="480" caption="Saya dan seniman muda "][/caption]
Sabtu, 23 Agustus 2014-puluhan seniman berkumpul di kantor Transparency International Indonesia (TII) untuk menyerbu koruptor. Uniknya penyerbuan koruptor ini bukan dengan cara-cara anarkis, tetapi melalui karya-karya visual yang membuat saya berdecak kagum. Seniman-seniman tersebut memang didominasi oleh laki-laki, dan entah kenapa hampir semuanya berbaju hitam. Seniman-seniman tersebut tergabung dalam SERRUM, yaitu sebuah komunitas yang bergerak dalam lingkup sosial-pendidikan melalui medium seni rupa.
Perkumpulan yang diikuti oleh seniman-seniman muda ini (ada juga sebenarnya yang bukan seniman seperti saya), merupakan bagian dari propaganda visual dalam mengkampanyekan “no impunity” tanpa ampunan bagi koruptor. Mengapa kampanye “no impunity” ini menjadi penting untuk disebarluaskan pada masyarakat? Karena, peran serta masyarakat sangat besar dalam penanggulangan korupsi, baik dari pencegahan hingga membongkar praktek-praktek korupsi.
Dalam workshop ini, hadir Fahmi Badou dari TI-Indonesia dan Uda Nanang dari KPK. Fahmi Badou merefresh ingatan kami mengenai “bagaimana korupsi itu terjadi”. Fahmi Badou mengatakan, fenomena korupsi yang terjadi bisa digambarkan dalam rumus CDMA.
C = D + M – A
Jika C adalah corruption, D adalah discretion, M adalah monopoly, dan A adalah accountability. Maka korupsi terjadi ketika besarnya Kekuasaan ditambah dengan monopoli dari golongan-golongan tertentu, disertai dengan kurangnya akuntabilitas. Semakin besar kekuasaan seseorang atau golongan tertentu, maka potensi untuk korup semakin besar. Semakin besar monopoli dari seorang individu atau kelompok tertentu, maka potensi untuk korup semakin besar. Begitu juga, makin kecilnya akuntabilitas dari publik maka potensi korupsi makin besar. Dari formula CDMA ini jadi, untuk mengurangi tingkat korupsi, maka akuntabilitas publik haruslah diperbesar. Mau tidak mau, maka partisipasi publik mempunyai peran yang sangat penting.
Fahmi Badou di awal-awal pembicaraan, mempertanyakan “Apa relasi korupsi dengan kita?” Bagi saya pribadi sederhananya adalah kita membayar pajak sebagai warga negara yang baik. Sesederhana belanja di mini market, yang tentunya kena pajak sekian persen. Dan uang-uang yang dibayarkan oleh warga negara seperti saya tentu seharusnya kembali kepada warga negara dalam bentuk-bentuk lain: seperti pendidikan yang baik, layanan kesehatan, dan akses transportasi yang memadai. Tentu saya akan marah, jika uang-uang yang saya bayarkan, malah dirampok oleh sekelompok orang, dan orang-orang di pelosok daerah Indonesia masih saja terpuruk keadaannya.
Uda Nanang kemudian menyampaikan tentang “Apa sih amanat reformasi yang belum tercapai?” yang belum tercapai dari amanat reformasi adalah 1) supremasi hukum, dan 2) bersih dari KKN. Ini tentu menjadi PR besar, karena menurut saya pribadi KPK seperti masih berjalan sendiri. Kejaksaan dan Kepolisian menurut hemat saya masih tertinggal dalam urusan supremasi hukum. Ibarat ingin menyapu rumah yang kotor, dua sapu yang harusnya bersih ini masih kotor.
Yang terbayang dalam benak kita mungkin korupsi adalah kasus-kasus besar yang ditangani oleh KPK dan disiarkan di TV. Jika masih menggunakan perspektif ini, tentu kita merasa berjarak dengan masalah bangsa ini. Ngapain gue mikirin korupsi, ngapain mikirin negara, negara aja nggak mikirin gue, mending mikirin hidup sendiri, kerja mapan, penghasilan banyak, hidup tenang sudah cukup. Tetapi, sebenarnya korupsi kecil-kecilan banyak ditemui di lingkungan kita sehari-hari. Atau, bisa jadi karena sudah saking lumrahnya, kita menjadi tidak sadar bahwa perilaku-perilaku tersebut koruptif. Dalam keseharian kita sering mendengar “uang lelah, uang keringat, uang rokok, uang jajan, uang terimakasih, uang duduk, uang pinggul, dan uang-uang yang lain”.
Nah, ini sebenarnya bagian dari perilaku-perilaku sehari-hari yang sudah berulang dan menjadi biasa/dianggap lumrah. Kita menjadi tidak enak jika tidak memberikan uang-uang tersebut, karena memang uang yang diberikan tidaklah besar, dan bisa jadi karena takut dibilang pelit. Padahal hakikatnya, pejabat publik atau orang-orang pemerintahan memang punya tugas untuk melayani publik, dan memang tugasnya seperti itu. They paid for their job.
Saatnya realisasi ide!
Setelah merefresh ingatan mengenai apa dan bagaimana korupsi yang dipandu oleh Fahmi Badou dan Uda Nanang, di sesi selanjutnya barulah eksekusi ide-ide liar kami mengenai desain visual yang ingin dibuat.
Masing-masing dari kami mendapatkan kertas ukuran A3, pensil dan serutannya, sayangnya tanpa penghapus. Saya yang bukan dari background seni rupa, DKV (Desain Komunikasi Visual), dan sebagainya..rasa-rasanya sudah lupa bagaimana caranya menggambar.
Tapi, saya tidak patah arang. Saya tetap mecoba menggambar dua buah visual, setelah brainstorm sambil ngunyah buah-buahan. Gagasan besarnya adalah #NOIMPUNITY for corruptor. Dari visual ini kita hendak menyampaikan “hey koruptor! Kagak bisa lagi lu nikmatin kekayaan hasil korup lu! Pesta sudah kelar sodara! Party’s Over!”
Ini penampakan dari goresan pensil saya.
[caption id="attachment_354856" align="aligncenter" width="420" caption="#NoImpunity for corruptor (dok.pribadi)"]
Semangat ini sebenarnya tidak selesai sampai di stiker saja, semoga yang terpapar oleh kampanye ini selain ngeh dengan pesannya, juga mengaplikasikan dalam hidup sehari-hari. Anti korupsi mulai dari lingkungan terkecil, setelah diri sendiri kemudian lingkungan keluarga. :)
Salam kompasiana yang anti korupsi!
Mampang, 23 Agustus 2014 11.30 pm