Mohon tunggu...
Asri Alfa
Asri Alfa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat alam, suka menulis dan penyuka kopi. Ngeblog juga di : jurnalasri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bila Kasus Riyan Merupakan Hilir, Bisa Jadi Sistem Pendidikan Adalah Hulunya

8 Agustus 2014   02:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:07 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Jobless "][/caption] Beberapa hari ini media di Indonesia ramai dengan pemberitaan tentang seorang lulusan magister UI yang berniat bunuh diri. Sosok yang ramai diperbincangkan tersebut adalah Ignasius Ryan Tumiwa (40). Ryan mengungkapkan bahwa dirinya stress disebabkan oleh tidak mempunyai pekerjaan a.k.a pengangguran. Media mainstream memberitakan bahwa Ryan ingin bunuh diri dengan cara suntik mati, tetapi terganjal oleh pasal 344 KUHP. Kalau menurut saya pribadi, kalau Ryan memang berniat bunuh diri, ya tinggal eksekusi saja..tanpa harus mencari perhatian atau beralasan terganjal oleh pasal 344 KUHP. (Ini kok jahat banget ngomong kayak gini, maaf Ryan *becanda) Dalam pasal 344 KUHP disebutkan merampas nyawa orang lain dengan permintaan dari orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. Untuk itu, seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien menghendaki. (Sumber: hukumonline.com). Fenomena ini dikenal dengan istilah "Euthanasia". Dalam bahasa Yunani, euthanasia berasal dari dua kata yaitu eu dan thanatos. Eu berarti baik, dan thanatos yang berarti kematian. Dalam istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan, yang juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan: 1995 dalam  http://ilmugreen.blogspot.com). Di Indonesia sendiri euthanasia tidak diperbolehkan, menurut Herkutanto (dalam hukumonline.com) menyebutkan, bahwa alasan sosial seperti yang berkembang di masyarakat untuk melegalkan euthanasia dianggap bukan hal yang benar. Sebab, euthanasia tidak dapat dilakukan dengan alasan sosial apalagi apabila pasien yang bersangkutan masih memiliki harapan hidup secara medis. Kita simpan sejenak kasus Ryan.. Hmmm... Dari sudut pandang lain, bisa dikatakan Ryan yang adalah alumni magister UI ini, merupakan potret gunung es dari masalah tantangan pengangguran di Indonesia. Ada anak muda lain yang mungkin nasibnya sama atau lebih parah dibandingkan nasib yang dialami Ryan. Lulus dengan akademik yang bagus, tetapi... Bisa jadi kasus seperti Ryan inilah sebagai hilir dari hulu sistem pendidikan kita.  Apa ada yang salah dengan pendidikan kita selama ini? Saya sendiri bukan seorang pakar atau pengamat pendidikan, tetapi saya sempat membaca sebuah buku berjudul "Belajar, Bukan Bersekolah" yang ditulis oleh Bapak Daniel Mohammad Rosyid. Pak Daniel menyampaikan dalam bukunya bahwa:

  1. Pendidikan saat ini masih ada dalam perspektif untuk mengabdi pada kepentingan industri, yaitu menyiapkan pekerja dan tenaga terampil. Paradigma sekolah masih berupa paradigma industri, yaitu penyeragaman individu melalui standarisasi dan proses lini produksi. Melalui sekolah, individu yang mempunyai keunikannya masing-masing mengalami proses penyeragaman secara sistematik melalui kurikulum yang dirumuskan outside-in. Bahkan menurut Sir Ken Robinson, sekolah merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab atas krisis SDM selama 200 tahun terakhir.
  2. Fenomena urbanisasi atau Jakarta sentris merupakan konsekuensi pendidikan yang mengabaikan relevansi, sehingga banyak warga negara tidak mampu mengembangkan prakarsa dan inovasi lokal untuk memanfaatkan sumber daya di sekeliling sekolah dimana siswa/individu hidup sehari-hari. Sekolah justru gagal mengakrabkan siswa dengan lingkungannya sehingga tak jarang siswaatau lulusan universitas yang terasing dari lingkungannya. Tak jarang kita temui anak petani yang tidak tertarik meneruskan profesi orang tuanya, anak nelayan yang tidak mau lagi menjadi nelayan.

Kembali lagi ke Ryan, Menurut pemikiran saya yang sederhana ini (kalau mau mendalam harus riset lah), sesuatu hal yang ironi ketika dia sebagai orang Indonesia yang bisa mencicipi pendidikan di perguruan tinggi bahkan sampai magister, malah berniat bunuh diri karena pengangguran. Menurut logika sederhana saya, bisa jadi ada yang salah dengan pendidikan kita. Seharusnya sekolah atau institusi pendidikan seharusnya menstimulus kreativitas individu, bukan malah menyeragamkan dan mematikan kreativitas. Jika Ryan dan kasus serupa adalah hilir, bisa jadi sistem pendidikan adalah hulunya...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun