Berinvestasi di pasar saham memang menggoda. Cuan berlipat sering kali membutakan logika. Semua bermula dari unggahan media sosial yang tampak meyakinkan, mendorong keputusan impulsif yang berujung penyesalan.
Desember 2024, saat sedang scroll di salah satu media sosial, saya menemukan sebuah akun yang mengulas tentang saham tertentu yang saat itu sedang naik gila-gilaan.
Tertarik dengan informasi tersebut, saya langsung mengecek riwayat harga saham dari waktu ke waktu. Ternyata benar, kenaikannya tidak main-main, sudah di luar nalar! Dari 143 rupiah pada Agustus 2024 melesat menjadi 1.815 rupiah hanya dalam waktu lima bulan, Desember 2024.
Tentu saja saya tergiur. Dengan kenaikan lebih dari 1.000 persen, atau setara 12,7 kali lipat dalam waktu singkat, siapa yang tidak kepincut?Â
Saya pun mulai berandai-andai, jika saya membeli saham ini saat harganya masih 143 rupiah dengan modal satu juta rupiah, maka pada Desember, hanya dalam waktu lima bulan, nilai investasi saya bisa melonjak menjadi sekitar 12 juta rupiah.
Coba bayangkan, bapak-bapak mana yang tidak tergiur dengan hipotesis se-cuan itu? Tidak mau ketinggalan momentum, saya pun langsung gas membeli saham tersebut. Namun, ternyata kisah ini tidak seindah yang dibayangkan.
Jangan FOMO!
Kalau ini adalah sebuah sinema elektronik yang sering tampil di layar kaca, mungkin judul yang paling pas adalah "Serakah Cuan, Nestapa Kemudian."Â
Saat itu, saya memang tergiur cuan luar biasa. Bagaimana tidak? Dalam waktu hanya lima bulan, saham ini naik lebih dari 1.000 persen! Sisi serakah saya berbisik, "Udah gas aja, nunggu apa lagi?"
Namun, ternyata hanya selang sehari setelah saya membeli saham tersebut, Bursa Efek Indonesia (BEI) malah mensuspensi perdagangannya. Nahas, baru pada 19 Februari suspensi itu dibuka kembali.