Mohon tunggu...
juniarman lawolo
juniarman lawolo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sepak bola, musik, bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia Bisa Senyum, Tapi Dalamnya Bisa Hancur

10 Juli 2025   17:04 Diperbarui: 10 Juli 2025   17:04 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang laki-laki sedang senyum (Sumber:djedj)

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, kita terbiasa melihat senyum di wajah orang lain. Teman yang tertawa lepas di kafe, rekan kerja yang terlihat percaya diri saat presentasi, bahkan diri kita sendiri yang tersenyum saat ditanya, "Apa kabar?"

Namun, tak jarang senyum itu hanyalah topeng. Di balik senyum, tersimpan kelelahan, kecemasan, dan luka yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kita hidup di dunia yang menuntut kita untuk selalu terlihat kuat, selalu tampak "baik-baik saja", bahkan ketika dunia dalam diri kita sedang runtuh perlahan. Manusia bisa tersenyum, tapi dalamnya bisa hancur. Dan itu bukan kelemahan---justru itulah wujud nyata dari kemanusiaan kita.

Setiap orang membawa beban yang tidak selalu tampak di permukaan. Ada yang sedang berjuang menjaga kewarasan di tengah tekanan ekonomi, keluarga, atau trauma masa lalu. Ada yang kehilangan seseorang, tapi tetap berpura-pura utuh. Ada pula yang setiap malam menangis dalam diam, tapi tetap tersenyum saat pagi datang karena merasa tidak ada tempat aman untuk berkata jujur.

Senyum bukan selalu tanda bahagia. Kadang, itu adalah bentuk pertahanan. Cara tubuh dan hati bertahan agar tidak hancur sepenuhnya. Kadang, itu satu-satunya cara agar kita bisa tetap berdiri hari ini. Kita sering lupa bahwa yang tampak di wajah seseorang belum tentu mewakili apa yang terjadi di dalam batinnya.

Dunia saat ini menuntut kita untuk menampilkan versi terbaik dari diri sendiri setiap waktu. Kita terbiasa berpura-pura baik agar diterima. Namun, terlalu lama menekan perasaan bisa menjauhkan kita dari kejujuran kepada diri sendiri. Kita pun tersesat dalam pencitraan dan lupa bagaimana rasanya benar-benar merasakan.

Karena itu, kita perlu belajar lebih peka---kepada orang lain, dan terutama kepada diri sendiri. Tak semua senyum berarti seseorang sedang baik-baik saja. Dan tak apa jika suatu hari kita memilih untuk tidak tersenyum. Menjadi rapuh bukan dosa. Menjadi jujur bukan kelemahan. Justru dari sanalah kekuatan lahir.

Kesimpulannya, jika hari ini kamu melihat seseorang tersenyum, jangan langsung menyangka hidupnya mudah. Dan jika kamu sendiri sedang tersenyum untuk menutupi luka, ingatlah: kamu tidak sendiri. Banyak dari kita sedang berjuang, sedang menahan air mata di balik tawa, dan berharap ada yang mengerti. 

Hidup memang tak selalu ramah, tapi kita bisa menjadi ruang yang lebih manusiawi---dengan kejujuran, empati, dan keberanian untuk menerima bahwa senyum pun bisa menipu, dan hati yang hancur pun masih punya harapan untuk dipulihkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun