Mohon tunggu...
Junaedi SE
Junaedi SE Mohon Tunggu... Wiraswasta - Crew Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)

Penulis Lepas, suka kelepasan, humoris, baik hati dan tidak sombong.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Konsep Kewargaan Selalu Dibenturkan dengan Ajaran Sosialisme

10 Juli 2021   10:34 Diperbarui: 10 Juli 2021   10:41 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konsep Citizenship atau kewargaan dalam pandangan kontemporer dapat dipahami dalam dua gagasan utama, yaitu makna intrinsik dan makna instrumental (Bellamy, 2014). Dalam pandangan intrinsik, individu memandang diri mereka sebagai anggota yang setara yang merupakan unsur dasar dari suatu bentuk kehidupan politik tertentu. Di dalamnya terkandung tuntutan yang  besar terhadap kesetaraan dalam interaksi sosial.

Sebaliknya, dalam pandangan instrumental, kewargaan dan lembaga yang terkait dengannya merupakan mekanisme untuk mempromosikan hak dan kepentingan individu melalui cara-cara yang adil. Ini berkaitaan dengan apa yang oleh John Rawls disebut sebagai struktur dasar masyarakat (Lucy Max dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, 2020)

Seturut pandangan intrinsik, kandungan makna citizenship atas kehadiran kaum muda dapat dipahami sebagai salah satu bentuk kesadaran mereka terhadap pentingnya kehadiran individual secara kolektif dalam kehidupan bernegara. Kesadaran itu tampak dalam upaya menggabungkan berbagai sumber daya yang mereka miliki untuk menjadi satu kekuatan besar yang dapat mengatasi kesulitan yang dialami masyarakat, sesama warga negara, karena pandemi Covid-19. Interaksi sosial yang terbangun pun menjadi bermakna dalam kesataraan, ketika kehadiran kaum muda menerobos masuk dalam berbagai lapisan masyarakat tanpa sekat kepentingan apa pun, selain membantu masyarakat secara umum.

 Kehadiran kaum muda dalam berbagai bentuk solidaritas dan kepedulian di masa pandemi Covid-19 juga sekaligus membuka pintu bagi pemberdayaan kewargaan generasi muda pada umumnya. Kesadaran untuk terlibat dan mengambil bagian dalam kewajiban hidup bernegara yang telah dengan begitu cemerlang ditunjukkan oleh sebagian kecil kaum muda, tetap mampu menumbuhkan harapan.

Artinya, masih ada peluang untuk mendapatkan keterlibatan aktif dari generasi muda secara keseluruhan, dari berbagai latar belakang  dan potensi sumber daya yang mereka miliki. Kini saatnya bagi seluruh komponen negara ini untuk tidak sekedar memberi peluang dan kesempatan bagi mereka untuk tampil. Namun,  lebih dari itu, dibutuhkan juga komitmen dan itikad baik dari seluruh komponen negara, termasuk pemerintah, untuk memfasilitasi mereka untuk menemukan jalan terlibat dalam tanggung jawab hidup bernegara.

Bahwa ada banyak dari mereka yang belum tersentuh komitmen dan itikad baik negara, harus diakui sebagai fakta dan dijadikan sebagai titik awal untuk semua pihak dalam memperdayakan kaum muda negara ini (Lucy Max dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, 2020)

Menghadirkan praktik-praktik kewargaan semacam apa yang dilakukan Soemotirto, tentunya akan mudah diteriaki dengan, "Awas ada Pak Kumis!" Saya kira smua paham dengan apa yang saya maksu dengan "Awasa ada Pak Kumis!". Ini semua pastinya akan menyangkut ke ranah sosialisme (Bambang Purwanto, 2020).

Tjokroaminoto sebagai pemimpin besar Sarekat Islam (SI) bahkan pernah mengajarkan kursus mengenai sosialisme dan Islam.  Mohammad Hatta sebagai bapak proklamasi yang sudah tidak diragukan keislamannya juga tidak ketinggalan membicarakan mengenai ekonomi sosialis bagi Indonesia. Di masa Orde Baru hingga sekarang, segala hal yang berkaitan dengan  sosialisme ini memang kerap kali di benturkan dengan Islam. Masalah ideologi menjadi tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia, jika memang bangsa ini masih mau menyejahterakan rakyatnya.

Desa Ngandagan adalah representasi dan perwujudan yang hampir sempurna dari cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dan pancasila. Warga desa bukan sekedar warga desa. Warga desa seharusnya lebih disebut dengan warga negara. Pemerintah juga seharusnya tidak menjadi abdi negara. Karena dengan menjadi abdi negara, pemerintah sudah pasti akan mengabaikan rakyatnya. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah menjadi abdi masyarakat. Dengan demikian akan tercipta good governance, maka yang berlaku daulat rakyat bukan daulat tuanku (Bambang Purwanto, 2020).

Hak dan Kewajiban  Warga Negara (include Warga Desa) , telah diatur dalam UUD 1945 pasal 26,27,28 dan 30, yaitu :

  • Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang-orang  bangsa Indonesia asli dan orang-orang  bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.  Dan pada ayat (2) syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
  • Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya itu. Dan ayat (2) tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
  • Pasal 28, kemerdekaan berserikat, dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan undang-undang.
  • Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara.  Dan ayat  (2) menyatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang (www.mkri.id : "Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia dengan UUD 45").

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun