Mohon tunggu...
Junaedi SE
Junaedi SE Mohon Tunggu... Wiraswasta - Crew Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)

Penulis Lepas, suka kelepasan, humoris, baik hati dan tidak sombong.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Gerakan Literasi Sastra Jawa

8 Juli 2021   14:21 Diperbarui: 8 Juli 2021   14:26 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Seberapa seriuskah  Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam melakukan reformasi kelembagaan  pemerintah, sesuai dengan amanat UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY? Keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul menurut Undang--Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 untuk mengatur dan kewenangan istimewa.

Bersifat istimewa karena Pemerintahan Daerah di DIY merupakan keberlanjutan dengan pemerintahan nagari Kasultanan  Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman dan sekaligus mengalami perubahan menyesuaikan dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan NKRI. Eksistensi Kabupaten/Kota dan Kalurahan tidak lepas dari eksistensi Pemerintahan nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat  dan Kadipaten Pakualaman. Kabupaten/Kota dan Kalurahan merupakan bagian dari struktur dan organisasi Kasultanan dan Kadipaten.

Bentuk dan susunan pemerintahan istimewa terdapat nilai dasar dalam proses panjang pembentukan suatu pemerintahan yang terus dijaga dan dirawat sebagai kearifan lokal. Asas pendayagunaan kearifan lokal sebagai salah satu asas pengaturan keistimewaan yang dilaksanakan untuk menjaga integritas Indonesia.

 Sebagai suatu kesatuan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan,  dan keamanan, serta pengakuan dan peneguhan peran Kasultanan dan Kadipaten tidak dilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilai dan praktik feodalisme, melainkan sebagai upaya menghormati, menjaga, dan mendayagunakan kearifan lokal yang telah mengakar dalam kehidupan sosial dan politik di Yogyakarta dalam konteks kekinian dan masa depan.

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki Peraturan Daerah Istimewa ( Perdais) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kelembagaan DIY. Diperkuat dengan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 131 Tahun 2018 tentang Penugasan Urusan Keistimewaan, Urusan Keistimewaan Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY.

Dan di tambah lagi, Peraturan Gubernur  DIY Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pedoman Kelembagaan Urusan Keistimewaan Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Dan Kalurahan. Mencermati isi dari Peraturan Gubernur DIY Nomor 25 Tahun 2019 diatas, ada satu kata kunci yaitu  mendayagunakan kearifan lokal yang telah mengakar dalam kehidupan sosial dan politik di Yogyakarta dalam konteks kekinian dan masa depan.

Bagaimana peranan semua pemangku kepentingan  dalam menggerakkan dan melakukan  pelestarian muatan lokal yang lain, misalnya upaya pelestarian Karya Sastra Jawa dalam kehidupan berkebudayaan, yang meliputi empat komponen diatas karya (sastra), penulis, pembaca dan realita dari masyarakat di DIY mulai tingkat RT/RW, Padukuhan, Kalurahan, Kapanewon/Kemantren, Kabupaten/Kota, dan DIY?

Bagaimana dukungan dan keterlibatan Pemerintah melalui Kundho Kabudayaan, BUMN, BUMD, pihak-pihak swasta dalam bentuk dukungan berupa CSR lingkungan yang berbudaya, dan pelaku/pegiat budaya di wilayah tertentu? Langkah --langkah apa saja  yang sudah di lakukan oleh Pemerintah (Kundho Kabudayan) DIY untuk mendukung pelestarian Seni Sastra Jawa?

Sampai sejauh mana keterlibatan para pegiat /pelaku seni Sastra Jawa? Bagaimana nasib Seni Sastra Jawa di Era Keistimewaan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang sebetulnya akan saya lontarkan dikarenakan saat inilah momentum yang sangat tepat untuk merubah mindset berbudaya dalam mengapresiasi Karya Sastra Jawa.

Seni Sastra Jawa adalah Seni Sastra yang adi luhung, yang  merupakan aset  milik orang-orang istimewa di DIY yang kita cinta ini, dan hal ini tidak boleh punah di makan zaman. Kini, sudah saatnya kita bergerak. Kalau tidak sekarang kapan lagi , kalau bukan kita terus siapa lagi yang akan mengapresiasi Karya Sastra Jawa dari pujangga-pujangga hebat di eranya. Jangan melupakan sejarah Karya Sastra Jawa.

Sastra atau Karya Sastra adalah karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media. Seni Sastra Jawa adalah karya seni yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai media. Dalam pengertian Sastra terdapat empat komponen yang saling berhubungan yaitu karya (sastra), penulis, pembaca, dan realitas (dunia). Karya Sastra biasanya berbentuk prosa, puisi, drama, lisan, tulisan, dan lagu (tembang).

Berdasarkan Bahasa Jawa yang digunakan, Sastra Jawa dapat dibedakan menjadi Sastra Jawa Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru dan Sastra Jawa Modern (staffordstudioart.com). Sastra Jawa Kuna hidup pada zaman Kerajaan Mataram Hindu sampai Kerajaan Majapahit, adapun karyanya berbentuk kakawin (puisi) dengan metrumIndia, dan parwa (prosa).

Contoh karya terkenal antara lain Ramayana karyaYogiswara, Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Sastra Jawa Tengahan hidup pada zaman akhir Majapahit sampai masuknya Islam ke Jawa. Bahasa Jawa Tengahan mulai digunakan dalam bentuk kidung (puisi) dengan metrum Jawa,  contoh karya sastra Jawa Tengahan : Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka.

Sastra Jawa Baru hidup sejak masuknya agama Islam dan berkembang pada waktu kerajaan Demak berkuasa, karya sastra berbentuk cerita rakyat, seperti Babad Diponegoro I, Babad Diponegoro III, Bendhe Ki Becak, Serat Jatimurti. Sastra Jawa Modern  bersamaan munculnya penerbit dan surat kabar, seperti Penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Kabar Bromartani (1885), Surat Kabar Retnodumilah (1895), Surat Kabar Budi Utomo (1920).

Tokoh sastra yang muncul pada masa ini adalah Ki Padmasusatra, Ki Padmasusastra lebih banyak menulis prosa daripada puisi (tembang). Beberapa karya antara lain Rangsang Tuban, Layang Madubasa, Serat Pathibasa. Di Era Keistimewaan DIY  sekarang ini,  semua stakeholder yang konsen dan peduli  dengan Karya Sastra JAWA sudah saatnya bergerak bersama-sama merubah mindset (pola pikir) Literasi Sastra Jawa dengan membumikan Literasi Sastra Jawa  mulai dari RT, Padukuhan, Kalurahan, Kapanewon, Kabupaten hingga Provinsi.  

Literasi adalah istilah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat (id.m.wikimedia.org). Merubah pola pikir mayarakat terhadap literasi sastra Jawa, bukanlah pekerjaan mudah tapi butuh proses dan butuh waktu yang lama, terus menerus serta berkelanjutan (SDG's).

Kerja-kerja budaya, apalagi tentang mindset literasi sastra Jawa perlu keikhlasan semua pihak, baik pihak Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, Kapanewon, Kalurahan, Kundha Kabudayaan DIY, Kundha Kabudayaan Kabupaten/Kota, Pengurus Desa Budaya, Pegiat Desa Budaya, Pendamping Desa Budaya, BUMN,  Pihak Swasta, LSM Kebudayaan, Perguruan Tinggi, Sekolah-sekolah dan semua masyarakat, harus menyamakan persepsi tentang Literasai Sastra Jawa.

Sudah saatnya bergerak, tidak boleh ditunda-tunda lagi. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau tidak sekarang kapan lagi? Jangan bilang Negara sudah memberikan apa saja kepada kita?  Tapi katakanlah mulai dari lubuk  hati yang paling dalam, apa yang dapat aku berikan untuk Negara tercinta? Mumpung momentum pas banget di era Keistimewaan. Mumpung lagi good mood setelah adanya beberapa kongres dihelat, ada Kongres Kebudayaan Desa, ada Kongres Aksara Jawa dan lain sebagainya. Literasi Sastra Jawa YES, malas membaca dan menulis NO.

 JUNAEDI, S.E, adalah Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun