Mohon tunggu...
Julinda Jacob
Julinda Jacob Mohon Tunggu... Konsultan - Orang rumahan

Seorang ibu rumah tangga yang menuangkan hasil pandangan mata dan pendengaran dalam kehidupan keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diet Kantung Plastik

29 Februari 2016   08:05 Diperbarui: 29 Februari 2016   10:38 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kantong plastik, pranaindonesia.wordpress.com"][/caption]Peraturan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengurangi penggunaan kantong plastik (kresek)dan diet plastik dengan mengenakan biaya tambahan minimal sebesar Rp. 200,-/kantong  disambut positif oleh semua lapisan masyarakat. Kebijakan ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Februari 2016 bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional. Kita yang terbiasa praktis dengan tangan kosong ke supermarket, ritel modern, mal-mal harus mulai mengubah lifestyle dengan membiasakan diri membawa kantong belanja sendiri baik yang berbahan daur ulang dari kertas atau anyaman. Bring your own bags tutur Djarot, wagub DKI pada liputan6.com. Namun sejauh ini belum ada survey yang menunjukkan adanya kenaikan penjualan tas belanja dari anyamanbaik pandan, eceng gondok atau pun rotan. Semua masih berjalan normal.Demikian pula di pasar-pasar tradisional, diet kantong plastik belum ada efek sama sekali, semua belanjaan di simpan dalam plastik terutama belanjaan basah seperti daging, ikan atau ayam. Tanpa diminta, gratis, otomatis, penjual memberikan kantong untuk tempat menyimpan belanjaan. Aturan pemerintah tidak berlaku di pasar tradisional yang memang masih ala tradisional dan tukang sayur di perumahan-perumahan atau di perkampungan penduduk.

Bandung merupakan salah satu dari 23 kota yang menerapkan kantong plastik berbayar dengan harga minimal Rp 200/kantong. Saya mencoba mengikuti aturan pemerintah dan ingin tahu sejauh mana aturan ini diterapkan oleh ritel modern. Sabtu  pagi  saya ditemani suami belanja di salah satu supermarket yang terletak di Jalan Setiabudi. Kami hanya membeli 2 item yang bisa saya masukkan ke tas tangan tanpa harus di plastik. Saat berada di kasir saya teringat  belum beli shampoo. Saya kembali ke rak, mengambil shampoo dan kembali ke kasir. Rupanya kasir telah menghitung belanjaan saya, menempatkannya dalam kantong plastik dan menarik Rp.200,-/kresek. Suami yang ingin membayar tertunda dengan kehadiran saya, dan beliau tidak memprotes tambahan Rp 200,-/kresek. Begitu saya melihat hal ini, saya bertanya pada kasir “Neng, koq gak ditanya apakah pembeli ingin pakai kresek atau tidak, mengapa langsung dipotong Rp 200,-?".Kasir tertegun dengan pertanyaan saya, seakan menyadari kekeliruannya, dia segera minta maaf dan membatalkan harga kresek. Sayapun menyimpan belanjaan ke dalam tas tangan yang sudah saya siapkan.Dalam perjalanan ke rumah, saya mengingatkan suami untuk peduli dan menolak plastik berbayar. Suami mengatakan, “Saya juga heran mengapa kasir langsung menambahkan harga kresek dalam struk belanja tanpa konfirmasi dulu, saya malas berdebat,” ujar suami. Saya mengangguk-angguk dan menggeleng-geleng maklum.

Ternyata terjadi kesalahpahaman dalam masyarakat mengenai penerapan aturan plastik berbayar ini. Tujuan pemerintah memberlakukan plastik berbayar yakni untuk mengurangi sampah plastik karena dapat menyebabkan polusi tanah. Sampah plastik dapat merusak kesuburan tanah. Butuh waktu 500 tahun untuk terurai. Tujuan ini tidak akan tercapai dalam masyarakat apabila perusahaan ritel tidak mensosialisasikan kepada para karyawan dan kasir-kasirnya untuk mencegah pembelian kresek. Masyarakat juga diharapkan merespon himbauan pemerintah dengan membawa kantong belanja sehingga dapat mengurangi sampah plastik. Memberlakukan plastik berbayar seperti layaknya barang dagangan dengan harga sangat sangat terjangkau hanya akan menambah keuntungan pengusaha ritel dari yang seharusnya menyediakan kresek gratis sebagai salah satu bagian dari layanan pembelian. Jika hal ini dibiarkan secara masif dan berkesinambungan, pengusaha ritel akan diuntungkan dari penjualan kresek dan sampah plastik tetap menyebar sempurna dalam masyarakat.

Baiknya pemerintah menerapkan aturan kepada setiap supermarket, ritel-ritel modern untuk mengganti kantong kresek dengan kantong kertas atau kantong-kantong lain dari bahan daur ulang, ramah lingkungan, mudah terurai dan tidak mengakibatkan polusi tanah air. Jika pengalaman saya terjadi di setiap supermarket, apa  hakikatnya penerapan plastik berbayar? Apakah pemerintah yakin perusahaan-perusahaan ritel akan mengembalikan uang tersebut sama persis dengan jumlah penggunaan plastik berbayar dalam bentuk CSR di bidang lingkungan hidup? Bagaimana pengawasannya? Harga Rp. 200,- sangat sangat murah dan nilai segitu nyaris tidak berharga di masyarakat, Pak Ogah aja di kasih gopek!! Masyarakat mampu membeli kresek dalam jumlah besar. Namun, apabila dikalkulasi dengan ribuan pembelian, akan menghasilkan angka milyaran.Saya jadi teringat awal munculnya kresek puluhan tahun yang lalu, pembeli dibebankan harga Rp 5,-/kresek karena masih barang baru pada masa itu. Kini kita memperlakukan kresek seperti di masa lalu dengan dimensi yang berbeda. Jika niat pemerintah untuk mengurangi polusi tanah, patok saja harga tinggi untuk satu kantong plastik seperti di terapkan di Korea Selatan. Harga 1 kantong plastik 600 Won, jika dikonversi dalam rupiah dengan asumsi kurs 11 rupiah seharga Rp. 6.600/kresek. Tentunya masyarakat 8akan berhitung untuk menggunakan plastik berbayar yang harganya  setara dengan 2 butir telur...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun