Mohon tunggu...
Julita Hasanah
Julita Hasanah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Masih Mahasiswa

A Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Happydemic" Bersama JNE: Kurma untuk Akung yang Tak Jadi ke Tanah Suci

25 Desember 2020   14:54 Diperbarui: 25 Desember 2020   15:03 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dengan cermat Ibu menghitung segenggam uang kertas dan beberapa keping uang receh sembari tersenyum. Dari rona wajah beliau, Aku bisa pastikan bahwa hasil panen Bapak musim ini sangat cukup untuk menopang kehidupan kami sekeluarga."

Wajah sumringah Ibu saat menghitung hasil panen merupakan pertanda baik. Jika sudah begitu, maka artinya Kami akan mampu makan ayam goreng cukup sering dalam sebulan. Bila beruntung Aku juga akan mendapatkan bonus tas sekolah baru. Hal tersebut tentu menggembirakan bagiku yang saat itu masih duduk di bangku TK.

Itulah potret kebahagiaan yang pertama kali Julita kecil kenali. Sebagai anak sulung dari keluarga "pas-pasan", Aku memaknai kebahagiaan secara sederhana. Intinya, bagi Julita kecil bahagia adalah kondisi finansial yang lancar dimana kemudian perut kenyang, tidur nyenyak, dan semua senang.

Tapi setelah beranjak dewasa, Aku dihadapkan dunia yang lebih kompleks. Tak sedikit kusaksikan orang-orang yang bergelimang harta justru berakhir bunuh diri. Julita dewasa kemudian belajar bahwa makna kebahagiaan tak lagi sesederhana dompet tebal. Kaya tak menjamin bahagia, miskin tak mesti sengsara.

Hingga suatu hari Aku menemukan Adik kecil yang sedang berjualan kerupuk di kampus. Langit menjelang gelap, namun kutengok jualannya masih menggunung. Karena sedang memiliki rezeki berlebih kemudian Aku membeli separuh dari barang dagangannya. Adik kecil itu langsung senang bukan kepalang. Melihatnya bergembira entah kenapa Aku juga merasa sangat bahagia, ternyata bahagia memang menular.

Dari sana Aku belajar bahwa berbagi apa yang dimiliki adalah sebuah kebahagiaan. 

Lalu, apakah berbagi kebahagiaan hanya dapat dilakukan dalam bentuk materi?

Tentu tidak. Setahun yang lalu, Aku membatalkan sebuah proyek penting untuk bisa menghabiskan waktu bersama Akung dan Nenek di Kampung. Ternyata kehadiranku sebagai cucu pertama yang biasanya sibuk dengan dunianya sendiri sangat berharga. Selama dua hari Aku tak henti-hentinya menyaksikan senyum di wajah mereka, ya... menyisihkan waktu juga bagian dari berbagi kebahagiaan.

"Di tengah asam-garam kehidupan, nyatanya bahagia tak hanya muncul karena punya kasur empuk atau makan enak. Lebih dari itu, bahagia dapat diraih ketika bisa berbagi apa yang dimiliki baik waktu atau materi kepada sesama.  Inilah makna kebahagiaan yang baru di era Milenial. Tanpa berbagi, kebahagiaan hanyalah cek kosong tanpa arti.". 

Pandemi: Portal antara Dunia Lama dan Dunia Baru 

Arundhati Roy menulis, pandemi yang saat ini Kita hadapi adalah sebuah portal, pintu gerbang antara satu dunia ke dunia yang lain, dunia lama dan dunia baru. Menyantuni anak yatim-piatu secara langsung, berbagi sembako kepada kaum dhuafa, mengunjungi saudara di kampung halaman, hingga hadir ke pernikahan kerabat boleh dikatakan gambaran berbagi kebahagiaan di dunia lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun