Mohon tunggu...
Julianto Simanjuntak
Julianto Simanjuntak Mohon Tunggu... profesional -

.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

90 % Anak Bermasalah Mengidap Ambivalensi

26 Mei 2011   06:18 Diperbarui: 4 April 2017   16:16 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

[caption id="attachment_112219" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption]

(Julianto Simanjuntak) *****

Ambivalensi adalah perasaan mendua pada seseorang. Satu sisi merasa sayang di sisi lain ada perasaan benci. Kadang disebut perasaan ambigu. Biasanya ini terjadi antara anak terhadap ortu atau gurunya. Tapi juga bisa terjadi pada istri terhadap suami atau sebaliknya.

Misal, seorang anak bangga dan sayang pada ayahnya seorang pekerja keras. Mencukupkan kebutuhan sekolah dan mainannya dengan baik. Tapi di sisi lain dia benci karena ayahnya kasar; sang ayah Juga sering menyakiti ibunya karena punya WIL. Karena WIL itu ayahnya jarang pulang. Nah, Jika perasaan sayang dan benci tumbuh bersama, tumbuhlah ambivalensi ini.

Ternyata 90 persen klien anak dan remaja bermasalah yang kami tangani mempunyai masalah dengan perasaan ambivalen ini.

Pada anak gejala yang muncul adalah suka mengganggu adik. Perasaan enggan ke sekolah dan malas belajar di rumah. Sikap itu merupakan cara dia melawan atau menunjukkan perasaan tidak senang pada ayahnya. Dia tidak berani marah atau menunjukkan kekecewaannya secara langsung pada ayah, dia menunjukkan dengan cara tadi.

Pada remaja, prestasi dan niat belajar menurun. Pada saat SD sering juara. Namun sejak SMP prestasi menurun. Anak akhirnya menjadi anak underachiever. Pandai tapi kurang berprestasi

Saat mengalami ambivalen ini si anak biasanya tidak menyadari. Perasaan negatif terhadap ayah biasa dia tekan. Karena kalau perasaan sayang dan benci itu bertemu, rasa tidak nyaman dia rasakan. Sehingga salah satu emosi dia tekan, abaikan atau sangkal.

Tetapi dia tidak mungkin terus menerus mengabaikan perasaan itu. Ambivalensi itu akan kumat  saat berjumpa dengan ayah di rumah. Melihat ayahnya kasar kepada dia, atau lihat sang ayah  bertengkar sengit dengan mamanya.

Pada saat ambivalen memuncak, perasaan kesal menjadi benci dampak negatif lebih besar. Perasaan sakit hati pada si ayah membutuhkan "obat".

Saat temannya menawarkan rokok, dia mulai tertarik karena temannya mengatakan rokok  bisa buat dia tenang. Benar, setelah dicoba rokok memberi efek nyaman. Sebab rokok memang terbukti menjadi salah satu "anti depresan".

Setelah rokok, teman-temannya menawarkan ganja. Efeknya lebih yahud, buat dia tenang alias fly. Dia akan mulai ketagihan, dan lama kelamaan sulit dikendalikan. Si anak menjadi pecandu narkoba.

Saat bekerja di sebuah pusat rehabilitasi narkoba dan panti depresi di Jakarta, seorang pimpinan mengatakan: "75 % persen remaja yang dirawat karena depresi dan narkoba adalah anak-anak manja". Ketika remaja ayah atau ibu mereka mulai keras pada mereka, tapi sudah terlambat. Mereka jadi benci dan mudah konflik dengan ortu.

Mengatasi perasaan ambivalensi ini tidak mudah, sebab klien yang masih anak atau remaja terbiasa menekannya. Perlu dibawa ke seorang konselor atau terapis anak untuk membuat dia bisa terbuka. Kadang diperlukan alat psikotes yang bisa mengungkapkan perasaan tersembunyi tadi.

Orangtua perlu belajar bersikap benar pada anak, melakukan perubahan dimana dianggap perlu demi kebaikan si anak. Seperti meminta maaf atas sikap Anda yang sering membuat anak marah pada Anda.

Proses pemulihan juga tidak sebentar, butuh proses panjang terutama memperbaiki pola komunikasi yang kadung bermasalah. Semoga membantu.

Salam

Julianto Simanjuntak

@Juliantowita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun