Mohon tunggu...
Mas Anto
Mas Anto Mohon Tunggu... Psikolog - Bak seorang ordosentri, pagi selalu datang merampas kebebasanku untuk bermimpi.

Anggap saja argumen ini tidak lebih dari sekedar dalih klise semata.

Selanjutnya

Tutup

Money

Digital distraction "Sexy Killers"

16 April 2019   20:26 Diperbarui: 17 April 2019   14:26 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jelang pilpres, sebuah film dokumenter tiba-tiba menjadi viral. Link video tersebut hilir mudik di setiap group whatsapp. Kabarnya menarik karena alur ceritanya tentang aktivitas tambang yang banyak merengut nyawa dan tidak pro lingkungan.

Kontestasi politik makin jelas terlihat dan terang benderang tentang siapa yang terbunuh karakternya sendiri atau, mereka yang sibuk membunuh karakter orang lain dengan segenap gorengan receh yang disebut sebagai "Digital Distraction". Pola intelijen yang mengarahkan hal-hal yang semestinya disorot harus dilaihkan.

Sebuah narasi kontemabel khas penggiat lingkungan, biasa saja, hingga tiba-tiba seorang kawan bilang bahwa video ini juga membuka "aib" para elit nasional.

Selepas maghrib saya menyempatkan membuka link film tersebut. Film dokumenter dengan aktivitas keluarga di dalam rumah yang menggunakan energi listrik, disajikan dengan detail berapa watt listrik yang digunakan seperti lampu, kulkas, laptop, TV, AC hingga ritual khas Mia Khalifa.

Masuk ke dalam alur cerita. Dari mana listrik diperoleh? Dimulai dari pertambangan batubara, dimana bumi diledakkan dan kemudian dikuliti menggunakan alat berat untuk diambil batubaranya.

Batu hitam ini kemudian dikirim ke berbagai wilayah menggunakan kapal tongkang yang bermuatan hingga 50.000 metric ton. Salah satu konsumennya adalah perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bahan bakarnya menggunakan batubara, baik PLN maupun Swasta.

Lanjut ke inti masalah, yaitu perusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan batubara berujung pada kelalaian pengelola tambang dengan tidak ditutupnya mulut tambang yang berakibat jatuhnya banyak korban bocah-bocah milenial. Bibir tambang hanya dibatasi oleh seng bekas yang bertuliskan "DILARANG BERMAIN".
Belum lagi ditemukan kerusakan terumbu karang akibat aktivitas kapal tongkang yang tanpa sengaja menjatuhkan ampas batubara ke laut. Seperti sebuah anekdot bahwa adanya korban atau isu lingkungan dari suatu bisnis pasti mengundang aktivis atau LSM untuk berkerumun membahas agar bisa digoreng lebih renyah.

Disisi hilir, PLTU pun mendatangkan masalah, yaitu mengambil lahan warga sekitar plus kerusakan lingkungan yang berakibat pada menurunnya panen warga, terutama kelapa. Karena PLTU memang letaknya di pinggir laut/sungai.

Film tersebut juga menyoroti program listrik 35.000 MW era Presiden Jokowi yang akan berdampak pada membesarnya aktivitas tambang batubara.

Tidak sampai disitu, film itu kemudian  mengupas tentang PT Toba Bara Sejahtera, perusahaan terbuka (Tbk) yang bergerak pada bisnis batubara yang dimiliki oleh Luhut Binsar Pandjaitan. PT Toba ternyata berkoloni bisnis dengan Sandiaga Uno. Nah, kecurigaan mulai muncul bahwa video ini dimainkan kelompok tertentu menjelang Pemilu.

Saya lanjutkan menonton video ini hingga habis. Berharap nemu adegan panas seperti di film Fifty Shades Of Grey harus pupus karena di menit 1:06:50, video ini mengupas juga tentang PT Rakabu milik Presiden Jokowi. Lho apa hubungannya? Ternyata Greenpeace juga menyoroti bisnis PT Rakabu yang bergerak dibidang meubel dan kayu, juga advertising dan sabun yang bahan bakunya dari Kelapa Sawit.PT. Rakabu tidak ada hubungannya dengan aktivitas batubara yang sedang disorot, namun video tersebut ternyata menyoroti PT. Rakabu yang sahamnya dibeli oleh Luhut untuk mengembangkan bisnisnya di bidang lain selain batubara. Ya, PT Rakabu tidak terafiliasi dengan bisnis batubara kecuali pembelian saham oleh PT Toba Sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun