Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Gerimis Pagi (Bab 10)

27 Desember 2013   14:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Apanya?”

“Apa lagi yang elo tunggu? Pulanglah, Ra!”

Lelaki itu kembali. Ia menatapku lama dari depan pintu. Sosok yang di sampingku bergerak ke arahnya. Sekarang mereka berdua berdiri bersisian. Seingatku mereka sama-sama memiliki tubuh yang tinggi dan bahu yang bidang. Aku masih ingat sosok itu lebih tinggi sedikit dari si lelaki. Rambutnya ikal memanjang seperti sulur benalu. Sedangkan si lelaki lebih suka memotong rambutnya pendek, sepanjang-panjangnya hanya seleher.

Ah, ternyata aku belum lupa.

Sosok itu masih tersenyum memandangku. Si lelaki tidak. Tapi keduanya memiliki sorot mata yang membangkitkan kerinduan. Rindu yang menyakitkan sebenarnya. Aku tahu apa yang akan terjadi saat aku membiarkan masa lalu kembali datang padaku. Jika saja masa lalu benar-benar ada, pertemuan saat ini tentu tak mungkin terjadi.

Aku bangkit dan mengunci diriku di kamar. Cangkir teh yang tadi sama sekali tidak kusentuh. Selama tidurku yang tidak nyenyak, kenangan menyambangiku bersama kegelisahan. Sosok itu sedang menuliskan kata-kata bertinta emas dalam kegelapan. Tiba-tiba api menjilat-jilat semuanya dan aku menjerit berusaha memadamkannya.


Dalam kegelapan kudengar napasku memburu cepat. Aku terjaga. Pintu kamar diketuk kencang. Suara lelaki itu keras dibaliknya. “Nara! Nara! Elo enggak apa-apa?” Aku menyembunyikan diri dalam selimut dan enggan bersuara.

Lalu menjelang subuh aku yang masih terjaga bangkit dan mengendap-endap keluar. Tenggorokanku kering karena haus. Kudengar dengkur pelan dari sofa. Lelaki itu tidur di sana. Aku segera melesat ke dapur, mencari botol air dingin di kulkas dan menuangnya ke dalam gelas. Suara gelas beradu dengan logam kitchen sink terdengar nyaring memecah sunyi. Lelaki itu terbatuk sekali sehingga aku menahan napas dan berpikir apa reaksinya saat terbangun. Namun rupa-rupanya ia kembali tertidur. Aku menghembuskan napas lega dan segera kembali ke kamar.

Saat kantuk akhirnya menyerang lagi, aku berharap ini semua mimpi. Berharap lelaki itu pun hanya ilusi. Berharap “jika” lenyap dan aku kembali menikmati masa lalu tanpa kesedihan. Banyak hal kuharapkan. Tapi kesenangan seperti menyambut Natal di berbagai film barat tidak pernah singgah dalam kehidupanku.

###

Ini bukan ilusi. Bukan mimpi. Tulisan-tulisan bertinta emas itu perlahan-lahan menjadi tulisan biasa di atas kertas, di dalam sebuah mini organizer yang berisi banyak benda. Foto si penulis. Bunga Edelweiss. Slayer motif warna hitam dengan bordiran benang merah tertulis namanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun