Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Manusiakan Manusia: Dewi dan Putri, Pelajaran Bersyukur yang Menampar Kursi Pejabat

2 Oktober 2025   22:23 Diperbarui: 2 Oktober 2025   22:23 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewi dan Putri, anak kembar siam asal Garut. | Image by Tangkapan Layar Instagram @rumpi_gosip

Hari ini, kembali saya menyaksikan tayangan di televisi yang menampilkan sosok dua gadis cilik kembar siam yang luar biasa, Dewi dan Putri. Mereka adalah Al Dewi Putri Ningsih dan Al Putri Anugrah, dua bersaudara asal Garut, Jawa Barat, yang kini berusia 12 tahun. 

Sejak detik pertama kelahiran, takdir telah menempatkan mereka dalam kondisi fisik yang unik: tubuh mereka menyatu dari bagian perut hingga ke bawah. Kondisi ini, yang lazim disebut kembar siam ischiopagus, tentu membawa tantangan yang tak terbayangkan bagi siapapun, apalagi bagi dua anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.

Meski demikian, yang paling memukau dan menghujam sanubari dari tayangan tersebut bukanlah kondisi fisik mereka, melainkan aura ketangguhan yang terpancar dari setiap ucapan dan tatapan mata mereka. 

Mereka diwawancarai oleh seorang pewara, dan alih-alih meratapi nasib atau mengeluh, Dewi dan Putri justru menunjukkan kematangan emosional dan spiritual yang melampaui usia mereka. Sikap tegar mereka menjadi cermin yang memantulkan kembali makna sejati dari penerimaan diri dan keyakinan.

Kisah perjalanan hidup mereka sudah diwarnai dengan perjuangan medis yang berat. Mereka telah menjalani setidaknya dua kali operasi besar untuk mengatasi komplikasi dan mengoptimalkan fungsi organ tubuh mereka yang berbagi. 

Prosedur medis semacam ini, yang melibatkan risiko tinggi dan pemulihan panjang, adalah pengorbanan yang tak ternilai dari orang tua dan juga ketahanan fisik dari kedua gadis ini. Setiap bekas luka di tubuh mereka adalah saksi bisu dari pertarungan hebat untuk hidup yang lebih baik.

Dalam wawancara tersebut, Dewi dan Putri sering kali melontarkan ungkapan bersyukur kepada Allah SWT yang Maha Pencipta. Mereka meyakini bahwa Tuhan telah menciptakan mereka dengan sebaik-baiknya rupa dan dalam kondisi yang paling tepat bagi mereka. 

Ini adalah sebuah pengakuan iman yang mendalam, sebuah keyakinan yang fundamental bahwa setiap detail penciptaan adalah sebuah anugerah, bukan sebuah kutukan atau hukuman.

Pernyataan-pernyataan mereka adalah pelajaran berharga bagi kita semua yang sering kali terlalu mudah mengeluh atas hal-hal kecil. Kita yang terlahir dengan anggota tubuh lengkap, yang bisa bergerak bebas tanpa hambatan, terkadang lupa untuk berhenti sejenak dan benar-benar menghayati anugerah kesehatan. 

Ketika mendengar ucapan syukur dari Dewi dan Putri, seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang menepuk bahu kita, mengingatkan tentang kemewahan hidup yang sering kita abaikan.

Tamparan Rasa Syukur untuk Kursi Pejabat

Bagian paling menusuk hati dari wawancara itu adalah ketika Dewi dan Putri menyinggung tentang perlakuan yang mereka terima dari sebagian masyarakat. Mereka mengakui ada saja orang yang membully atau mencibir tentang fisik mereka yang berbeda. 

Ini adalah realitas pahit dari masyarakat kita, di mana empati sering kali terkalahkan oleh stigma dan ketidakpedulian. Perundungan, dalam bentuk sekecil apapun, adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Namun, alih-alih membalas dengan kemarahan atau kesedihan, mereka melontarkan sebuah pertanyaan retoris yang begitu menusuk dan mendalam: "Bagaimana kalau ia yang mencibir berada di posisi seperti Dewi dan Putri?" 

Pertanyaan ini bukan sekadar kalimat, melainkan sebuah tamparan keras yang menghantam wajah-wajah yang mudah menghakimi. Ini adalah ajakan untuk bertukar sepatu, untuk merasakan sedikit saja beban yang mereka pikul.

Dan inilah titik di mana kisah Dewi dan Putri bertransformasi menjadi kritik sosial yang tajam, terutama ditujukan pada mereka yang berada di kursi kekuasaan para pejabat, pemimpin, dan pengambil kebijakan. 

Pertanyaan mereka bergema menjadi: Bagaimana jika para pejabat yang sering mengabaikan kesulitan rakyat, yang tersandera oleh nafsu korupsi atau ketidakpedulian, ditempatkan pada posisi rakyat jelata yang serba kekurangan?

Sikap bersyukur dan penerimaan diri yang ditunjukkan oleh Dewi dan Putri seharusnya menjadi cermin moral bagi para pemimpin bangsa. Mereka yang memiliki kekuasaan, sumber daya, dan fasilitas yang melimpah, sering kali justru menjadi pihak yang paling miskin rasa syukur dan miskin empati. 

Kursi pejabat seharusnya diisi oleh orang-orang yang memiliki nurani setangguh Dewi dan Putri, yang melihat setiap tantangan sebagai ujian untuk berbuat lebih baik, bukan sebagai peluang untuk memperkaya diri.

Kisah mereka menelanjangi kemunafikan di ruang-ruang rapat ber-AC, di mana kebijakan dibuat tanpa menyentuh tanah. 

Ketika Dewi dan Putri mampu menunjukkan ketulusan dan ketegaran hidup dengan keterbatasan fisik, seharusnya para pejabat merasa malu jika dengan segala kemudahannya justru gagal menjalankan amanah dan tanggung jawabnya kepada publik. 

Manusiakan manusia adalah esensi yang hilang, dan Dewi dan Putri datang untuk mengingatkannya.

Mereka mengajarkan bahwa keberanian sejati bukanlah terletak pada seberapa besar kekuasaan yang dimiliki, melainkan pada seberapa tulus kita menerima takdir dan seberapa besar kita bisa menghargai hidup, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Pelajaran ini harus diukir di dinding-dinding parlemen dan di meja-meja eksekutif.

Menggali Makna Manusiakan Manusia

Konsep Manusiakan Manusia adalah inti filosofis dari kisah Dewi dan Putri. Ini berarti melihat setiap individu, tanpa memandang kondisi fisik, latar belakang sosial, atau status ekonominya, sebagai subjek yang utuh, yang memiliki martabat, hak, dan perasaan yang sama. Dewi dan Putri menuntut kita untuk mengganti lensa pandang kita dari menghakimi menjadi memahami.

Manusiakan manusia dalam konteks mereka berarti memastikan bahwa mereka mendapatkan akses yang setara terhadap pendidikan, fasilitas kesehatan yang memadai, dan lingkungan sosial yang inklusif, bebas dari bullying dan diskriminasi. Kewajiban ini tidak hanya dibebankan kepada orang tua mereka, tetapi juga kepada negara dan seluruh elemen masyarakat.

Keberhasilan mereka dalam menjalani hidup dengan senyum adalah bukti bahwa semangat manusia jauh lebih besar daripada keterbatasan fisik. 

Mereka adalah pahlawan-pahlawan kecil yang tanpa sadar telah melancarkan gerakan moral yang masif: gerakan bersyukur dan berempati. Gerakan ini mendesak kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk kehidupan, dan memeriksa kembali kualitas kemanusiaan kita.

Bagi para pejabat, manusiakan manusia berarti melayani dengan hati nurani. Itu berarti menggunakan sumber daya negara untuk membantu mereka yang paling rentan, bukan untuk memperkaya lingkaran sendiri. 

Ini adalah tentang mengalokasikan anggaran untuk fasilitas kesehatan dan pendidikan yang ramah difabel, untuk program-program sosial yang benar-benar mengangkat harkat hidup rakyat, termasuk Dewi dan Putri dan ribuan orang lain yang memiliki tantangan serupa.

Kisah mereka adalah sebuah panggilan untuk aksi aksi untuk melawan ableism (diskriminasi terhadap penyandang disabilitas), aksi untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan penuh kasih. 

Jika dua gadis kecil dengan tantangan fisik yang besar mampu memancarkan energi positif dan rasa syukur yang tak terhingga, maka tidak ada alasan bagi kita yang diberi kelengkapan untuk tidak berbuat lebih banyak kebaikan dan kemanfaatan.

Kesimpulan

Kisah Dewi dan Putri adalah parabola moral yang kuat dan relevan di tengah masyarakat yang semakin individualistis. 

Melalui ketegaran dan rasa syukur mereka yang mendalam, mereka memberikan pelajaran fundamental tentang penerimaan diri, kekuatan iman, dan nilai sejati dari kehidupan. 

Ungkapan syukur mereka adalah gema kebenaran yang menampar keras ketidakpedulian dan arogansi yang seringkali bersembunyi di balik kursi-kursi kekuasaan. 

Mereka mengingatkan kita semua, terutama para pemegang amanah, bahwa esensi dari kehidupan yang bermakna adalah memanusiakan manusia menghargai setiap nyawa, berempati terhadap setiap kesulitan, dan menjalankan tanggung jawab dengan integritas dan hati nurani. 

Dewi dan Putri bukan hanya penyintas; mereka adalah guru kehidupan yang mengajarkan kita untuk bersyukur atas apa yang kita miliki dan berjuang untuk keadilan bagi sesama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun