Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jejak Canting Digital: Membuka Pasar Global untuk Kain Warisan Bangsa

2 Oktober 2025   07:52 Diperbarui: 2 Oktober 2025   07:52 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak canting digital: membuka pasar global untuk kain warisan bangsa. | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Tak terasa hari ini 2 Oktober kita bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Saya ingat betul pengalaman beberapa waktu yang lalu atau sekitar tahun 2021 saat mengunjungi salah satu sentra batik terbesar di Jawa, yakni Desa Jarum, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di sana, saya melihat proses membatik yang masih sangat tradisional.

Prosesnya sangat rumit dan butuh ketelitian tinggi. Mulai dari menggambar pola di atas kain, menorehkan malam panas dengan canting, hingga proses pewarnaan dan pelorodan (menghilangkan malam). Semua dilakukan dengan tangan. Ini adalah sebuah warisan yang sungguh berharga.

Momen itu membuat saya merenung. Batik bukan hanya sekadar pakaian, tapi juga cerita, filosofi, dan sejarah. Sejak diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi pada 2 Oktober 2009, batik mendapat tempat istimewa di mata dunia.

Namun, pengakuan global ini juga membawa tantangan. Bagaimana warisan yang dikerjakan dengan tangan ini bisa bersaing di pasar global yang serba cepat dan modern? Bagaimana cara kita memastikan para perajin di desa seperti Jarum bisa merasakan manfaat dari pengakuan dunia itu?

Jawabannya terletak pada adaptasi dan inovasi, khususnya dengan memanfaatkan teknologi digital. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai "Jejak Canting Digital," sebuah upaya untuk membawa seni tradisional ke panggung global menggunakan alat-alat modern.

Tantangan Tradisional di Era Digital

Industri batik tradisional menghadapi banyak rintangan. Salah satunya adalah produktivitas. Membuat selembar batik tulis yang berkualitas bisa memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tentu saja, ini membuat harganya tinggi.

Harga yang tinggi sering kali menjadi penghalang bagi konsumen, terutama di pasar luar negeri yang mencari kuantitas dan harga bersaing. Konsumen global mungkin tidak sepenuhnya mengerti mengapa selembar kain batik tulis bisa lebih mahal daripada sepotong pakaian bermerek.

Tantangan kedua adalah regenerasi perajin. Generasi muda di sentra-sentra batik banyak yang memilih pekerjaan lain di kota besar. Mereka menganggap membatik itu kotor, melelahkan, dan penghasilannya tidak menentu. Ini membuat warisan membatik terancam.

Jika tidak ada yang melanjutkan, teknik membatik yang rumit dan motif-motif kuno bisa hilang begitu saja. Canting akan berhenti menari, dan malam panas tidak lagi menorehkan cerita di atas kain. Sebuah kerugian besar bagi budaya bangsa.

Tantangan berikutnya adalah masalah pemasaran. Perajin di desa sering kali hanya mengandalkan pengepul atau tengkulak. Mereka tidak memiliki akses langsung ke pasar global, bahkan pasar domestik yang lebih luas. Pengetahuan mereka tentang pemasaran digital sangat minim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun