Bagian berikutnya dari surat itu adalah pengakuan jujur yang polos, khas seorang anak baru gede (ABG) yang mulai merenungkan makna tanggung jawab. Dia merasa belum menjadi anak yang "Pancasilais" seutuhnya.
Ia menyebutkan beberapa sifat yang dia anggap masih gagal ia terapkan. Anak kami menulis: "Maafkan aku sampai hari ini belum bisa menjadi anak yang berprilaku yang diharapkanmu seperti anak yang disiplin, menghormati perbedaan, anak yang rukun, dan sifat-sifat lain yang Pancasilais."
Perasaan bersalah ini menunjukkan bahwa pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di sekolah ternyata tidak hanya sebatas teori. Nilai-nilai itu mulai diinternalisasi, mulai menyentuh kesadaran pribadinya.
Anak remaja seringkali dianggap cuek atau acuh tak acuh terhadap masalah negara. Tetapi surat ini membuktikan sebaliknya. Mereka memahami, bahwa berbuat baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari adalah bagian dari membela negara.
Disiplin dalam tugas sekolah, menghormati teman yang berbeda suku atau agama, dan menjaga kerukunan di rumah dan sekolah, itulah bentuk implementasi Pancasila yang nyata bagi seorang pelajar kelas 7.
Permintaan maafnya adalah refleksi atas kegagalannya memenuhi standar moral tinggi yang sudah ia ketahui. Ia merasa belum cukup menjalankan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan dalam lingkungan kecilnya.
Refleksi Lima Sila dalam Kehidupan Sehari-hari Pelajar SMP
Pengakuan sang anak membawa kami pada pemikiran bahwa Pancasila harus dihidupkan bukan hanya di tugu-tugu peringatan, tetapi dalam tingkah laku. Surat itu menjadi cerminan bahwa nilai-nilai Pancasila bisa sangat dekat dengan keseharian remaja.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi anak kami, ini berarti ia harus lebih rajin beribadah dan menghormati teman yang berbeda agama saat mereka beribadah. Ia merasa belum maksimal dalam hal ini.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ia mungkin sadar bahwa kadang ia masih berbuat curang saat bermain atau kurang adil saat berbagi dengan saudaranya. Adil dan beradab harus dimulai dari lingkup keluarga dan teman sebaya.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Pengakuannya tentang belum bisa rukun dan menghormati perbedaan menunjukkan kesadaran ini. Rukun dengan saudara dan teman yang karakternya berbeda adalah wujud kecil dari Persatuan Indonesia.