Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran dari Ambulans: Ketika Gizi Berubah Menjadi Trauma Anak Sekolah

26 September 2025   08:33 Diperbarui: 26 September 2025   08:33 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, sebuah cerita sederhana dari seorang murid SD kelas 5 di Bandung, mengubah pandanganku tentang apa itu "gizi" dan "keamanan." 

Di tengah hiruk pikuk berita keracunan makanan yang membanjiri media sosial dan televisi, pengalamannya terasa lebih nyata, lebih personal, dan lebih menakutkan. 

Dia bukan hanya mendengar berita, dia menyaksikannya. Dengan mata kepala sendiri. Dan cerita itu, sayangnya, bukan sekadar cerita biasa.

Murid saya, sebut saja R, menceritakan pengalamannya dengan nada yang polos namun penuh ketakutan. 

"Kemarin aku sama Ayah pergi ke perbatasan Bandung dan Subang," katanya, memulai kisahnya. "Katanya sih, daerahnya Kabupaten Bandung Barat." 

Lalu, dia berhenti sejenak, wajahnya berubah serius. "Di jalan, kami lihat ada iring-iringan mobil ambulans, banyak banget."

Saya bertanya, "Banyaknya seberapa?" R menjawab, "Ada enam mobil, Pak. Semuanya nyalain sirine, kencang banget." Cerita R langsung mengingatkan saya pada masa-masa pandemi COVID-19. 

Sirine ambulans yang beriringan, suara yang memecah kesunyian, selalu membawa kabar buruk. Kini, suara itu kembali, namun kali ini bukan karena virus, melainkan karena makanan.

Ayah R yang melihat pemandangan itu, menjelaskan bahwa mobil-mobil tersebut mengangkut siswa-siswa sekolah. 

Mereka semua adalah korban cerita mbg, atau makanan bergizi gratis, yang seharusnya memberikan manfaat, justru membawa petaka. 

Anak-anak itu keracunan, lalu dilarikan ke rumah sakit. Bagi R, pemandangan itu terasa sangat mengerikan. "Seram, Pak, kayak waktu COVID," katanya dengan nada bergetar.

Mendengar pengakuannya, saya bisa melihat bagaimana trauma itu tertanam. Dalam benaknya, ambulans bukan lagi kendaraan penyelamat, melainkan simbol bahaya. 

Gizi gratis, yang seharusnya menjadi hak setiap anak, kini berubah menjadi sumber ketakutan. R tidak mau makan makanan yang berasal dari program tersebut. "Takut keracunan," katanya singkat, tapi maknanya begitu dalam.

Saya mencoba menenangkan R dan menjelaskan bahwa tidak semua makanan dari program itu berbahaya. 

Tapi, pengalaman visual yang kuat, iring-iringan ambulans dengan sirine yang nyaring, telah mengalahkan semua logika. 

Peristiwa ini bukan hanya tentang keracunan fisik, melainkan juga tentang keracunan psikologis. Rasa aman yang seharusnya ada di lingkungan sekolah, kini perlahan terkikis.

Cerita ini bukan hanya tentang R. Ini adalah potret dari ratusan siswa lain yang menjadi korban, yang mungkin mengalami trauma serupa. 

Program pemerintah yang digagas dengan niat baik, untuk mengurangi angka stunting dan meningkatkan kesehatan anak, justru meninggalkan luka. Pertanyaan besar yang muncul adalah, mengapa ini bisa terjadi?

Satu-satunya jawaban yang muncul adalah kelalaian. Kelalaian dalam pengawasan, dalam distribusi, atau bahkan dalam proses pengolahan makanan itu sendiri. 

Makanan yang seharusnya higienis dan aman, ternyata tidak. Kontrol kualitas yang seharusnya ketat, ternyata longgar. Dan akibatnya, anak-anak yang tak berdosa, yang seharusnya dilindungi, menjadi korban.

Setiap cerita mbg yang kita dengar di berita, setiap ambulans yang melintas, adalah pengingat bahwa ada yang salah dalam sistem. Ada celah yang harus diperbaiki. 

Tragedi ini seharusnya menjadi alarm, bukan hanya bagi pemerintah, tapi bagi kita semua. Bahwa di balik program yang mulia, ada tanggung jawab besar untuk memastikan pelaksanaannya berjalan sempurna.

Rasa takut R adalah representasi dari kegagalan ini. Dia melihat konsekuensi dari program yang tidak berjalan baik, dan kini dia kehilangan kepercayaan. 

Kepercayaan pada program pemerintah, pada makanan yang diberikan, bahkan pada lingkungan sekolahnya. Ini adalah harga yang mahal yang harus dibayar, jauh lebih mahal daripada biaya program itu sendiri.

Bagi saya, sebagai seorang guru, ini adalah tantangan yang berat. Bagaimana saya bisa meyakinkan murid-murid saya bahwa mereka aman? 

Bagaimana saya bisa menghapus bayangan ambulans yang beriringan dari pikiran mereka? 

Bagaimana saya bisa mengembalikan rasa percaya mereka pada makanan yang sehat, tanpa harus dibayangi ketakutan akan keracunan?

Tragedi ini juga membuka mata kita pada realitas di lapangan. Laporan dari berbagai daerah, mulai dari Kabupaten Bandung Barat hingga daerah lain, menunjukkan pola yang sama. 

Anak-anak mengeluh mual, pusing, dan muntah setelah mengonsumsi makanan dari program ini. Itu bukan kebetulan. Itu adalah gejala dari masalah yang sistemik.

Masyarakat mulai bertanya, apakah program ini layak diteruskan? Atau apakah perlu evaluasi menyeluruh dan perbaikan yang mendasar? 

Jika sebuah program yang bertujuan untuk kebaikan justru menimbulkan ketakutan dan membahayakan anak-anak, maka niat baik saja tidak cukup. Dibutuhkan implementasi yang ketat dan pengawasan yang transparan.

Kisah R bukan hanya sekadar narasi dari seorang anak. Ini adalah refleksi dari sebuah kegagalan kolektif. Kegagalan kita sebagai masyarakat, sebagai pemerintah, sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab atas perlindungan anak-anak. 

Kita telah mengecewakan mereka, dan itu adalah kenyataan pahit yang harus kita akui.

Pemandangan ambulans yang beriringan tidak hanya mengangkut anak-anak yang sakit. Mereka juga mengangkut kepercayaan yang hancur, impian yang tertunda, dan harapan yang terkikis. 

Setiap sirine yang berbunyi adalah suara dari anak-anak yang menderita, suara yang seharusnya tidak pernah kita dengar.

Mendengar cerita mbg dari sudut pandang seorang anak membuat dampaknya terasa lebih dalam. Berita di media mungkin hanya berupa angka, nama tempat, dan penyebab. 

Tetapi cerita R memberikan dimensi emosional yang hilang dari laporan-laporan tersebut. Ini tentang ketakutan yang nyata, trauma yang membekas, dan kenangan yang sulit dilupakan.

Pelajaran dari ambulans ini adalah bahwa kita tidak boleh menganggap remeh masalah kualitas dan keamanan. 

Sekecil apa pun programnya, sebesar apa pun tujuannya, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dampaknya bisa sangat merusak. 

Anak-anak adalah masa depan bangsa, dan keselamatan mereka harus menjadi prioritas utama.

Saya berharap, setelah kejadian ini, ada tindakan nyata yang diambil. Bukan hanya sekadar permintaan maaf, atau pernyataan yang menenangkan. 

Dibutuhkan evaluasi total, perbaikan sistem, dan sanksi tegas bagi pihak yang lalai. Ini harus menjadi peringatan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

R, murid saya, mungkin akan melupakan pengalaman itu seiring waktu. Tapi, saya yakin, trauma itu akan selalu ada di suatu tempat dalam memorinya. 

Setiap kali dia melihat ambulans, setiap kali dia mendengar sirine, mungkin bayangan itu akan kembali. Dan itu adalah hal yang sangat menyedihkan.

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa cerita mbg ini bukan hanya tentang program pemerintah. Ini tentang kemanusiaan. Ini tentang perlindungan. Ini tentang tanggung jawab. 

Dan yang terpenting, ini tentang mendengarkan suara anak-anak, suara yang seringkali diabaikan, suara yang polos, tapi penuh dengan kebenaran yang tidak bisa disangkal. 

Kita harus memastikan bahwa di masa depan, gizi yang diberikan kepada mereka, benar-benar gizi yang aman, dan bukan trauma yang menakutkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun