Mendengar pengakuannya, saya bisa melihat bagaimana trauma itu tertanam. Dalam benaknya, ambulans bukan lagi kendaraan penyelamat, melainkan simbol bahaya.Â
Gizi gratis, yang seharusnya menjadi hak setiap anak, kini berubah menjadi sumber ketakutan. R tidak mau makan makanan yang berasal dari program tersebut. "Takut keracunan," katanya singkat, tapi maknanya begitu dalam.
Saya mencoba menenangkan R dan menjelaskan bahwa tidak semua makanan dari program itu berbahaya.Â
Tapi, pengalaman visual yang kuat, iring-iringan ambulans dengan sirine yang nyaring, telah mengalahkan semua logika.Â
Peristiwa ini bukan hanya tentang keracunan fisik, melainkan juga tentang keracunan psikologis. Rasa aman yang seharusnya ada di lingkungan sekolah, kini perlahan terkikis.
Cerita ini bukan hanya tentang R. Ini adalah potret dari ratusan siswa lain yang menjadi korban, yang mungkin mengalami trauma serupa.Â
Program pemerintah yang digagas dengan niat baik, untuk mengurangi angka stunting dan meningkatkan kesehatan anak, justru meninggalkan luka. Pertanyaan besar yang muncul adalah, mengapa ini bisa terjadi?
Satu-satunya jawaban yang muncul adalah kelalaian. Kelalaian dalam pengawasan, dalam distribusi, atau bahkan dalam proses pengolahan makanan itu sendiri.Â
Makanan yang seharusnya higienis dan aman, ternyata tidak. Kontrol kualitas yang seharusnya ketat, ternyata longgar. Dan akibatnya, anak-anak yang tak berdosa, yang seharusnya dilindungi, menjadi korban.
Setiap cerita mbg yang kita dengar di berita, setiap ambulans yang melintas, adalah pengingat bahwa ada yang salah dalam sistem. Ada celah yang harus diperbaiki.Â
Tragedi ini seharusnya menjadi alarm, bukan hanya bagi pemerintah, tapi bagi kita semua. Bahwa di balik program yang mulia, ada tanggung jawab besar untuk memastikan pelaksanaannya berjalan sempurna.