Di era digital seperti sekarang, musik menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Ia ada di mana-mana, dari playlist pribadi di ponsel hingga lagu yang diputar di tempat umum. Namun, ada satu topik yang sedang ramai dibicarakan yakni isu royalti musik.Â
Aturan baru ini menyebutkan bahwa siapa pun yang memutar musik di ruang publik, termasuk di tempat bisnis, harus membayar biaya penggunaan kepada pencipta lagu dan musisi. Ini bukan lagi sekadar wacana, tapi sudah menjadi aturan yang berlaku.Â
Dampaknya terasa luas, mulai dari musik di kafe yang kini harus memikirkan biaya tambahan, hingga penggunaan musik di tempat-tempat besar seperti stadion. Tapi ada satu sektor yang paling merasakan kekhawatiran ini, yaitu industri bus pariwisata.
Pada awal Agustus 2025, saya berkesempatan mengobrol dengan beberapa sopir bus pariwisata di dekat Masjid Raya Al Jabbar di Kota Bandung. Suasana di sana sangat ramai, bus-bus terparkir rapi, dan penumpang dari berbagai daerah turun naik. Namun, di balik senyum para sopir, ada kekhawatiran yang mereka sampaikan.Â
Mereka bercerita tentang isu royalti musik yang membuat mereka resah. Selama ini, musik sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan mereka.Â
Musik berfungsi sebagai penghibur, pemecah keheningan, dan pemersatu suasana di dalam bus. Para sopir sangat khawatir jika aturan ini diterapkan secara ketat, bus-bus mereka akan menjadi hening dan pengalaman perjalanan akan sangat berubah.
Kekhawatiran para sopir bukan tanpa alasan. Banyak penumpang yang juga menyayangkan aturan ini. Saat saya berbincang dengan beberapa pengunjung Masjid Al Jabbar yang baru turun dari bus pariwisata, mereka setuju bahwa musik adalah elemen penting.Â
Mereka bilang, perjalanan jauh akan terasa membosankan tanpa iringan lagu favorit. Musik membantu menghilangkan lelah, membuat waktu terasa lebih cepat, dan menciptakan kenangan. Mereka tidak bisa membayangkan bus pariwisata menjadi sunyi.Â
Kekhawatiran ini nyata dan bisa jadi berdampak besar pada industri pariwisata secara keseluruhan. Bukan hanya soal biaya, tapi juga soal pengalaman dan budaya yang sudah terbangun.
Pihak perusahaan bus pariwisata pun merasakan beban yang sama. Aturan royalti musik ini akan menjadi biaya tambahan yang tidak sedikit. Mereka harus membayar untuk setiap lagu yang diputar, dan ini bisa menjadi beban finansial yang berat, terutama bagi perusahaan bus kecil.Â
Mereka harus memilih, apakah tetap memutar musik dan membayar biaya mahal, atau membiarkan bus menjadi sunyi. Pilihan ini sulit, karena keduanya punya risiko. Jika membayar, untung mereka bisa berkurang. Jika tidak, penumpang mungkin tidak puas dan bisa pindah ke perusahaan lain yang menawarkan pengalaman lebih baik.