Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Animasi Nasional Menghadapi Tembok Kritis: Mengapa "Merah Putih One For All" Terkubur Kontroversi

18 Agustus 2025   19:37 Diperbarui: 18 Agustus 2025   19:37 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film animasi Merah Putih One For All. | DOK 21cineplex.com via Kompas.com

Film animasi Indonesia memang selalu punya tempat spesial di hati penonton, apalagi kalau temanya tentang kebangsaan. Tapi, apa jadinya kalau film yang diharapkan bisa membangkitkan semangat justru malah tenggelam dalam kontroversi? Itu yang terjadi sama film "Merah Putih One For All." 

Film ini, yang harusnya tayang bertepatan dengan Hari Kemerdekaan, malah dibatalkan penayangannya di bioskop. Keputusan ini datang dari jaringan bioskop besar seperti Cinepolis dan CGV. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Sejak trailer-nya dirilis, film ini langsung kena kritik pedas dari berbagai pihak. 

Banyak yang bilang kualitas animasinya di bawah standar untuk ukuran layar bioskop. Belum lagi isu soal dugaan penggunaan aset tanpa izin yang ikut memanaskan suasana. Semua ini membuat film yang seharusnya jadi kebanggaan nasional malah jadi perbincangan negatif.

Batalnya penayangan film Merah Putih ini benar-benar jadi pukulan telak buat industri film animasi nasional. Sebelumnya, banyak yang berharap film ini bisa jadi momentum kebangkitan animasi Indonesia. Tapi, harapan itu pupus begitu saja. 

Keputusan pembatalan ini juga memunculkan banyak pertanyaan. Apa yang sebenarnya salah dari film ini? Apakah kritik dari publik memang sekuat itu sampai membuat pihak bioskop memutuskan untuk menarik film ini? 

Ini bukan cuma soal film yang gagal tayang, tapi juga soal kepercayaan penonton yang terkikis. Apalagi, film ini sudah ditunggu-tunggu banyak orang. Kecewa pasti, terutama bagi mereka yang sudah berharap bisa menonton film ini di momen yang pas.

Keputusan Cinepolis untuk membatalkan penayangan film Merah Putih ini diumumkan langsung di media sosial mereka. Hal ini tentu saja membuat banyak orang terkejut. Apalagi pengumumannya bertepatan dengan hari H penayangan perdana. Reaksi netizen pun beragam. Ada yang mendukung keputusan ini, ada juga yang menyayangkan. 

Tapi, sebagian besar memang setuju kalau film ini perlu diperbaiki. Banyak yang bilang, daripada dipaksakan tayang dengan kualitas seadanya, lebih baik ditunda dan diperbaiki. Ini menunjukkan bahwa penonton di Indonesia semakin kritis. Mereka tidak mau lagi disuguhkan film yang kualitasnya jauh di bawah ekspektasi. Apalagi kalau filmnya tayang di bioskop dengan harga tiket yang tidak murah.

Jujur hingga saat ini saya belum menonton utuh "Merah Putih One For All", hanya sempat menonton cuplikan pendek. Jadi belum bisa mereview utuh film ini. Tapi dari cuplikan itu, saya juga bisa merasakan ada yang kurang. Animasi karakternya terasa kaku, gerakannya tidak natural. Lalu, detail-detail di lingkungan juga terasa kurang hidup. 

Ini yang mungkin jadi salah satu alasan kenapa film ini kena kritik pedas. Padahal, film animasi itu kan detailnya penting. Setiap gerakan, setiap ekspresi, harus bisa menyampaikan emosi. Kalau animasinya kaku, penonton juga jadi susah merasa terhubung sama ceritanya. Ini PR besar buat para animator di Indonesia. Mereka harus bisa lebih memperhatikan detail-detail kecil ini.

Selain Cinepolis, jaringan bioskop besar lain, CGV, juga terlihat tidak menayangkan film Merah Putih ini. Ini semakin menegaskan bahwa ada masalah serius dengan film ini. Bukan hanya satu bioskop yang menolak, tapi beberapa jaringan bioskop besar di Indonesia. Ini bisa jadi sinyal kalau standar untuk film animasi yang tayang di bioskop memang sudah semakin tinggi. 

Dulu mungkin masih bisa ditolerir, tapi sekarang tidak lagi. Penonton sudah pintar, mereka bisa membandingkan kualitas film animasi lokal dengan film-film animasi dari luar negeri. Tentu saja, perbandingannya tidak adil. Tapi, itulah kenyataannya. Kalau mau bersaing, kita harus bisa menyamai standar internasional.

Isu dugaan penggunaan aset tanpa izin juga menambah daftar panjang kontroversi. Meskipun klaim ini belum terbukti, tapi sudah cukup membuat nama film ini tercoreng. Isu ini jadi perbincangan hangat di media sosial. Banyak yang menyayangkan kalau memang benar terjadi. Soalnya, ini menyangkut etika dan profesionalisme. 

Kalau memang benar, ini bisa jadi preseden buruk buat industri film animasi di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kita masih punya PR besar soal menghargai karya orang lain. Semoga saja isu ini bisa segera jelas. Kalau memang benar, ada sanksi yang harus diberikan. Kalau tidak, nama baik film ini harus dipulihkan.

Isu-isu ini membuat film "Merah Putih One For All" jadi bahan perdebatan yang menarik. Di satu sisi, banyak yang menyayangkan karena film ini punya potensi. Di sisi lain, banyak juga yang merasa senang karena ini jadi momentum untuk memperbaiki kualitas film animasi Indonesia. 

Jadi, ini bukan cuma soal satu film yang gagal tayang. Tapi juga soal masa depan industri film animasi kita. Ini jadi semacam "alarm" buat semua pihak. Bahwa kita tidak bisa lagi main-main soal kualitas.

Pukulan Telak bagi Industri Animasi Nasional

Batalnya penayangan film ini adalah sebuah momen yang penting, bahkan mungkin pahit, bagi industri animasi kita. Ini bukan sekadar film yang tidak jadi tayang, tapi juga simbol dari kegagalan untuk memenuhi ekspektasi. 

Masyarakat sudah semakin pintar dan kritis. Mereka tidak lagi mau menerima apa adanya. Mereka mau kualitas yang sebanding dengan uang yang mereka keluarkan. Dan, ketika film ini gagal memenuhi standar itu, kritik pedas pun datang. 

Ini adalah pukulan yang harusnya jadi pelajaran, bukan untuk membuat kita menyerah, tapi untuk membuat kita lebih bersemangat lagi. Industri animasi kita punya banyak potensi. Ada banyak animator muda yang berbakat. Tapi, potensi itu harus diolah dengan baik.

Batalnya penayangan ini juga menunjukkan bahwa industri film kita masih punya banyak masalah. Mulai dari masalah kualitas, masalah pendanaan, sampai masalah etika. Semua ini harus dibenahi. Tidak bisa cuma mengandalkan semangat kebangsaan saja. Film itu juga butuh kualitas. Butuh cerita yang kuat, animasi yang bagus, dan tentu saja, etika yang baik. 

Mengapa Kualitas Animasi Jadi Isu Krusial?

Kualitas animasi yang dianggap kurang jadi masalah utama yang disorot oleh penonton. Ini adalah hal yang wajar. Di era digital seperti sekarang, penonton sudah terbiasa dengan animasi-animasi kelas dunia seperti Pixar, Disney, atau Studio Ghibli. Tentu saja, sulit untuk membandingkan. 

Tapi, setidaknya, ada standar minimal yang harus dipenuhi. Animasi yang baik itu bukan cuma soal gambar yang bergerak, tapi juga soal bagaimana gerakan itu bisa menyampaikan emosi. Soal bagaimana setiap detail kecil bisa membuat dunia di dalam film terasa hidup.

Dalam kasus film Merah Putih, dari cuplikan yang beredar, banyak yang merasa animasinya terlalu kaku. Gerakan karakternya terasa patah-patah, ekspresinya tidak natural. Padahal, film animasi itu kan kekuatan utamanya ada di visual. Kalau visualnya kurang, mau ceritanya sebagus apa pun, penonton juga jadi kurang tertarik. 

Ini jadi PR besar buat para pembuat film animasi di Indonesia. Mereka harus bisa meningkatkan kualitas visual mereka. Mungkin bisa dengan belajar dari film-film luar, atau dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih.

Kritik ini memang pedas, tapi harusnya bisa jadi motivasi. Animasi Indonesia sebenarnya punya ciri khas sendiri. Ada banyak cerita-cerita lokal yang bisa diangkat. Tapi, cerita yang bagus harus didukung dengan visual yang juga bagus. 

Jadi, ini bukan cuma soal kritik, tapi juga soal tantangan. Tantangan untuk bisa membuat film animasi yang tidak hanya menghibur, tapi juga punya kualitas yang bisa dibanggakan.

Sistem Ulasan dan Keterbukaan Publik yang Semakin Kuat

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari kasus film Merah Putih ini adalah peran media sosial dan publik. Di era digital ini, setiap orang bisa jadi pengulas. Mereka bisa menyampaikan pendapatnya di media sosial. Dan, pendapat itu bisa menyebar dengan cepat. 

Kritik yang tadinya cuma dari beberapa orang, bisa jadi gelombang masif yang mempengaruhi keputusan bisnis. Ini menunjukkan betapa kuatnya suara publik sekarang.

Film ini jadi bukti nyata bahwa penonton tidak bisa lagi diremehkan. Mereka punya kekuatan untuk mempengaruhi industri. Mereka bisa memboikot, mereka bisa memberikan ulasan buruk, dan itu semua bisa berdampak besar. 

Makanya, para pembuat film harus lebih hati-hati. Mereka harus mendengarkan masukan dari publik. Mereka harus terbuka dengan kritik.

Tentu saja, tidak semua kritik itu membangun. Ada juga yang cuma ingin menjatuhkan. Tapi, dalam kasus film ini, kritik yang datang kebanyakan memang konstruktif. Mereka ingin melihat film animasi Indonesia maju. Mereka ingin melihat ada film yang bisa dibanggakan. 

Jadi, ini bukan soal membenci, tapi soal mencintai. Mencintai industri animasi kita, dan ingin melihatnya jadi lebih baik lagi.

Kesimpulan

Batalnya penayangan film "Merah Putih One For All" adalah tamparan keras bagi industri film animasi nasional. Kejadian ini menjadi cerminan bahwa kualitas, profesionalisme, dan etika adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. 

Kritik publik yang masif, terutama terkait kualitas animasi yang dianggap di bawah standar dan dugaan penggunaan aset tanpa izin, menunjukkan bahwa penonton Indonesia kini semakin kritis dan tidak lagi mudah menerima karya seadanya. 

Meskipun pahit, kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk introspeksi bagi seluruh pelaku industri, dari animator hingga produser, agar ke depannya bisa menciptakan karya yang tidak hanya membangkitkan semangat kebangsaan, tetapi juga memiliki kualitas yang mampu bersaing dan membanggakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun