Indonesia kini bisa bangga. Produksi telur kita sudah menembus angka 144,59 miliar butir. Angka ini luar biasa, menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia sebagai produsen telur terbesar. Data dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) yang menunjukkan ini adalah bukti nyata. Sektor peternakan kita memang terus tumbuh dan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan protein masyarakat Indonesia.
Keberhasilan ini bukan sekadar angka. Ini adalah hasil kerja keras jutaan peternak di seluruh pelosok negeri. Dari peternak skala kecil di desa-desa terpencil sampai peternak besar dengan kandang modern. Mereka semua punya peran penting dalam pencapaian ini. Telur-telur ini bukan cuma untuk konsumsi dalam negeri, lho. Kualitas telur Indonesia diakui juga di kancah global. Banyak negara sudah mulai melirik dan bahkan mengimpor telur dari kita.
Bayangkan saja, telur yang dulu mungkin hanya dianggap makanan biasa, kini jadi komoditas ekspor yang membanggakan. Ini menunjukkan bahwa produk pertanian dan peternakan kita mampu bersaing di pasar internasional. Ini juga membuka banyak kesempatan baru bagi Indonesia untuk memperkuat posisi di pasar global.
Namun, di balik semua cerita sukses ini, ada sebuah ironi yang pahit. Di saat telur Indonesia berjaya di pasar dunia, para peternak kita sendiri justru menghadapi ancaman serius. Ancaman ini datang dari masalah subsidi yang tidak tuntas. Ini seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi menunjukkan keberhasilan, sisi lain menunjukkan kesulitan yang belum juga teratasi.
Subsidi seharusnya menjadi penopang bagi peternak. Tujuannya jelas, untuk membantu mereka mengurangi beban biaya produksi. Dengan subsidi, peternak diharapkan bisa menghasilkan telur dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat, sekaligus tetap mendapatkan keuntungan yang layak. Tapi, kenyataannya seringkali jauh dari harapan.
Banyak peternak mengeluhkan proses penyaluran subsidi yang rumit dan berbelit-belit. Kadang, subsidi yang dijanjikan datangnya terlambat. Bahkan tidak sedikit yang bilang kalau subsidi itu tidak pernah sampai sepenuhnya. Ini tentu saja jadi masalah besar. Peternak yang sudah mengeluarkan modal banyak untuk pakan, obat-obatan, dan biaya operasional lainnya jadi kesulitan.
Salah satu masalah utama adalah harga pakan yang sering naik. Harga pakan ini sangat fluktuatif, kadang naik drastis tanpa peringatan. Peternak kecil, yang modalnya terbatas, paling merasakan dampaknya. Ketika harga pakan naik, biaya produksi telur otomatis ikut melonjak. Kalau subsidi tidak cair atau tidak cukup, mereka terpaksa menjual telur dengan harga yang lebih tinggi. Ini membuat telur jadi kurang bersaing di pasar lokal.
Tidak hanya soal pakan, harga bibit ayam juga sering jadi kendala. Bibit ayam yang berkualitas harganya tidak murah. Belum lagi biaya vaksinasi dan obat-obatan untuk menjaga kesehatan ayam. Semua ini adalah modal awal yang besar. Jika subsidi tidak ada atau tidak cukup, peternak harus menanggung semua beban itu sendiri.
Dampak dari subsidi yang tak tuntas ini sangat terasa di lapangan. Banyak peternak yang akhirnya gulung tikar. Mereka tidak sanggup lagi menanggung kerugian. Ini tentu saja mengancam keberlanjutan sektor peternakan kita. Padahal, kita sudah berhasil jadi produsen telur terbesar ketiga di dunia.
Kondisi ini menciptakan jurang yang lebar. Di satu sisi, pemerintah bangga dengan prestasi ekspor telur. Di sisi lain, kehidupan peternak lokal justru semakin sulit. Ini benar-benar ironi. Seharusnya, keberhasilan di kancah global itu juga sejalan dengan kesejahteraan para peternak di dalam negeri.
Pemerintah memang sudah punya program-program subsidi untuk peternak. Ada subsidi pakan, ada juga bantuan modal atau bibit. Tapi, pelaksanaan di lapangan masih jadi pekerjaan rumah besar. Transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran subsidi harus ditingkatkan. Jangan sampai ada penyelewengan atau salah sasaran.