Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Selent Crush: Akting Hati Milenial di Panggung Digital, Ungkap Otentisitas Balik Gengsi

24 Juni 2025   16:32 Diperbarui: 24 Juni 2025   16:32 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Silent Crush: akting hati milenial di panggung digital. | Image by Freepik

Ini adalah kisah tentang banyak dari kita, para milenial. Kita hidup di zaman yang serba cepat, di mana jari-jari kita lebih sering menari di atas layar ponsel daripada bersalaman langsung. Dunia kita penuh dengan "likes," "shares," dan notifikasi yang seolah tak pernah berhenti. Di tengah hiruk pikuk digital ini, ada satu perasaan yang sering kali memilih untuk bersembunyi: rasa suka yang diam-diam, atau yang kita sebut "silent crush."

Silent crush bukan hal baru. Sejak zaman dulu, orang sudah sering memendam perasaan. Tapi di era digital, fenomena ini punya wajah yang berbeda. Ada lapisan baru yang disebut "akting hati." Kita pura-pura tidak peduli, seolah-olah hati kita ini batu, padahal di dalamnya ada kupu-kupu yang berterbangan setiap kali nama dia disebut atau fotonya muncul di feed kita.

"Akting hati" ini adalah pertunjukan pribadi kita. Kita adalah sutradara, penulis skenario, sekaligus pemeran utamanya. Tujuannya satu: menjaga gengsi. Kita takut terlihat "bucin" (budak cinta), takut ditolak, atau bahkan takut terlihat terlalu bersemangat. Jadi, kita pasang muka datar, komentar seadanya, atau bahkan sengaja tidak memberikan like pada postingannya, padahal kita sudah melihatnya berkali-kali.

Panggung digital inilah tempat akting ini berlangsung. Instagram, Twitter, TikTok, WhatsApp, semuanya jadi saksi bisu. Kita melihat statusnya, mengamati story-nya, bahkan hapal kapan dia online dan offline. Tapi semua itu dilakukan diam-diam, seperti detektif tanpa lencana. Kita mengumpulkan informasi, menganalisis kebiasaan dia, tanpa sedikit pun menunjukkan bahwa kita sedang tertarik.

Seringkali, drama di balik layar ini lebih seru dari apa yang terlihat. Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyusun balasan chat yang "santai" dan "cuek," padahal dalam hati kita berteriak-teriak saking senangnya dia membalas. Kita memilih foto profil yang paling keren atau status yang paling misterius, berharap dia akan penasaran, tapi kita sendiri tidak pernah berani memulai percakapan yang lebih serius.

Gengsi memang jadi tembok besar. Kita dibesarkan di era di mana "terlalu mengejar" itu dianggap tidak keren. Jadi, kita memilih untuk menunggu, berharap dia yang duluan memberi sinyal. Padahal, mungkin saja dia juga sedang sibuk dengan akting hatinya sendiri, menunggu sinyal dari kita. Jadilah lingkaran setan yang tak berujung.

Kita membangun benteng pertahanan yang kuat. Benteng itu dibangun dari rasa takut dan ego. Takut kalau perasaan kita tidak dibalas, takut kalau ternyata dia tidak merasakan hal yang sama. Jadi, lebih baik aman, lebih baik diam, dan terus berpura-pura tidak ada apa-apa.

Padahal, di balik semua akting ini, ada hati yang tulus. Ada rasa kagum, rasa ingin tahu, bahkan mungkin cinta yang mulai tumbuh. Perasaan-perasaan ini nyata, meskipun tidak pernah terucap. Mereka hadir setiap kali kita melihat senyumnya, mendengar suaranya, atau membaca tulisannya.

Kita seringkali lupa bahwa di balik profil keren dan caption nyentrik, setiap orang juga punya rasa. Setiap orang punya kerentanan. Dan setiap orang juga berharap untuk dicintai dan diterima apa adanya. Tapi kita terlalu fokus pada "image" yang kita bangun.

Panggung digital memang memudahkan kita untuk terhubung, tapi juga memudahkan kita untuk menyembunyikan diri. Kita bisa memfilter, mengedit, bahkan menghapus jejak digital kita. Ini membuat kita merasa aman di balik topeng yang kita pakai. Tapi seberapa jauh kita bisa terus bersembunyi?

Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus bersembunyi di balik akting hati ini? Sampai kapan kita akan membiarkan gengsi menguasai? Apakah kita siap kehilangan kesempatan hanya karena terlalu sibuk dengan sandiwara diri sendiri?

Mungkin saatnya kita mulai berpikir tentang otentisitas. Apa itu otentisitas? Otentisitas adalah keberanian untuk menjadi diri sendiri, apa adanya. Itu berarti jujur dengan perasaan kita, bahkan jika itu berarti kita harus sedikit lebih rentan. Itu berarti menunjukkan siapa kita sebenarnya, bukan siapa yang ingin kita terlihat.

Di panggung digital yang serba cepat ini, otentisitas bisa jadi kekuatan besar. Ketika banyak orang sibuk dengan akting, menjadi diri sendiri adalah sesuatu yang langka dan berharga. Itu bisa jadi magnet yang menarik orang yang tepat ke arah kita.

Mengungkap otentisitas balik gengsi bukan berarti kita harus langsung menyatakan cinta di depan umum atau menulis puisi gombal di status. Tidak. Ini tentang langkah-langkah kecil. Ini tentang mencoba sedikit lebih berani, sedikit lebih jujur.

Mungkin dimulai dengan senyum yang tulus saat bertemu dia, bukan senyum yang kaku dan dibuat-buat. Atau mungkin dengan komentar yang lebih personal dan bermakna di postingannya, bukan hanya sekadar emotikon. Ini tentang mengurangi "akting" dan meningkatkan "rasa."

Bagi milenial, tantangannya memang berat. Kita hidup di era di mana feedback instan dan validasi dari orang lain sangat penting. Gengsi seolah jadi benteng terakhir untuk melindungi diri dari penilaian orang lain. Tapi, apakah benteng itu benar-benar melindungi kita, atau justru mengurung kita?

Mungkin inilah saatnya kita sadari bahwa di balik gengsi, ada kekuatan yang jauh lebih besar: kekuatan untuk menjadi diri sendiri. Kekuatan untuk jujur dengan perasaan kita, meskipun hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Setidaknya, kita tahu kita sudah mencoba menjadi otentik.

Ketika kita berani menunjukkan otentisitas, kita sebenarnya tidak hanya membuka diri untuk orang lain, tapi juga untuk diri sendiri. Kita memberi kesempatan pada hati kita untuk bernapas, untuk merasakan, dan untuk bertumbuh tanpa beban akting.

Tentu saja, ini bukan proses yang mudah. Ada rasa takut, ada keraguan. Tapi bukankah hidup ini tentang mengambil risiko dan belajar dari setiap pengalaman? Kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di balik pintu jika kita tidak pernah berani membukanya.

Jadi, mari kita mulai perjalanan ini. Mari kita mulai membongkar panggung sandiwara diri kita. Mari kita berani melepas topeng akting hati yang selama ini kita pakai. Ini bukan berarti kita harus mengubah diri kita secara drastis, tapi lebih kepada mengenali dan menerima siapa kita sebenarnya.

Generasi milenial punya potensi besar untuk membawa perubahan. Kita punya kekuatan untuk mendefinisikan ulang apa itu "keren." Mungkin "keren" itu bukan tentang seberapa jago kita akting cuek, tapi tentang seberapa berani kita menjadi diri sendiri, apa adanya.

Akhirnya, "Silent Crush Chronicles" ini bukan hanya tentang kisah cinta yang tak terucap. Ini adalah tentang perjalanan kita menemukan diri sendiri di tengah kebisingan digital. Ini tentang keberanian untuk menjadi otentik, di panggung mana pun kita berada. Semoga kita semua bisa menemukan kekuatan itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun