Mohon tunggu...
Jumari (Djoem)
Jumari (Djoem) Mohon Tunggu... Seniman - Obah mamah

Hidup bergerak, meski sekedar di duduk bersila.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rindu Hujan

15 Juni 2011   15:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sulasih sulanjana kukus menyan ngumdhang dewa

Ana dewa ndaning sukma widadari tumuruna

Runtung-runtung kesanga sing mburi karia lima

Leng-leng guleng, gulenge somakaton

Gelang-gelang nglayoni, nglayoni putria ngungkung

cek incek raga bali rogrog asem kamilaga

reg-regan rog-rogan

reg-regan rog-rogan

[caption id="attachment_116956" align="aligncenter" width="300" caption="kompasiana"][/caption] Bumi berputar mengililing orbitnya, cahaya di langit nampak merah, sebentar lagi malam datang, dan matahari tidur di singgahsananya. Sambil menunggu datangnya fajar, Nyi Randha Dadapan termenung duduk di dalam rumahnya yang reyot. Dindingnya juga terbuat dari anyaman bambu, atapnya berupa anaman rumput ilalang panjang. Di dalam rumah, dia hidupkan tumpu buat menghangatkan badan, sementara di luar nampak gelap, bahkan hijau daunpun tak nampak. Api pendiangpun menyala diterpa angin malam yang dingin, karena malam ini purnama. Terselip tembakau si sudut bibirnya, sambil meletakkan tangan di atas pendiang, Nyi Randhapun bergumam. "Gustiiiiiiii, musim kemarau kok panjang seperti sepur, makanan wis ora nana, air susah dicari, sendang-sendang pada asat banyune. Maning uripe nyong rekasa, tambah maning saben bengi atise ngeram." "Untunge kiye, inyong urip dhewekan. Coba kae, Kaki Setra sing anake cacahe akeh, masih cilik-cilik, mau makan apa?" Sambil dia benerin kayu di tumpunya supaya api tidak lekas mati. "Hem, sudah kodrate, urip harus dijalani. Manungsa di dunia kiye, wayang umpamane. Manut, melu, ikutlah maring dalange. Abang biru ijo kuning putih, di tangane Pengeran." Sebentar kemudian Nyi Randa Dhadhapan tampak bengong, melamun, tatapannya kosong, pikirannya bergejolak. Meskipun diam, dalam hatinya penuh dengan kalimat tanya dan beribu keinginan. "Andaikata urip inyong dikupeng bidadari, wis ayu-ayu, moblong-moblong, gawe batir kancane inyong. Supayane urip inyong ora dhewekan lah. Gusti-gusti, turunkena bidadari satu baelah cukup buat batir inyong." Malam kian larut dan Nyi Randa Dadapan terbuai mimpi, tidur di atas dipan berselimutkan selembar kain. Ayam jantan berkokok, kelelawar berterbangan mencari tempat persembunyian, takut keburu matahari terbit. Sementara di ufuk timur, langit terlihat merah semburat putih, pertanda matahari segera bangun dari tidurnya. Nyi Randapun berbegas bangun dan membuka pintu rumahnya yang juga terbuat dari bambu. Di depan nampak rumah Nini Sinah, ada ayam jago dan betina sedang mengadu kasih, sang jago dengan sigapnya melatuk kepala betina sambil menginjak punggung si betina, tersenyum Nyi Randa teringat masa-masa ketika bersama Ki Kastari, suaminya yang sudah almarhum. Waktu itu dia merasa sangat cantik, seperti bidadari turun dari langit. Kembali angannya berharap akan datangnya bidadari semalam berusik mencuat keluar dari memorinya. Pandanganya menengadah ke atas, di langit serasa dia melihat bidadari sedang menari, terbang kesana kemari tanpa sayap, keriangan nampak diantara senyum dan tertawa mereka. Nyi Randa arahkan pandanganya ke utara, sekejap nampak bidadari sedang menari di atas gunung Slamet, memandang ke timur, di sana banyak lagi bidadari sedang bernyanyi disela gunung Sindara dan Sumbing. Gambaran bidadaripun dia tangkap jelas, pesona bidadari membawa langkahnya, seakan di tuntun oleh alam, dia mengambil irus di dapur dan kapur sirih. Segera dia lukiskan mata bidadari, dan bibir bidadari dengan kapur sirih di balik irus tersebut. Saking sibuk dan asiknya dia melukis, tak terasa matahari semakin menyengat di atas sana. Membakar dedaunan dan ranting, hingga layu dan kering. Nyi Randa Dadapan segera membawa irus yang sudah digambari menyerupai bidadari tersebut menuju ke pekarangan rumah. Bibirnya komat-kamit seperti membaca mantra, tetapi anehnya tinggi rendah suara melantun membentuk sebuah lagu yang indah di telinga. Sulasih sulanjana, kukus menyan ngumdhang dewa dan seterusnya seperti syair yang saya tulis di awal tulisan ini. Tembang ini mengumandang, dari suara pelan menuju ke oktaf lebih tinggi. Nyi Randapun menari melingkar laksana sufi yang menari memuja Sang Pencipta. Tanpa henti dan tanpa rasa cape, bibirnya terus bernyanyi, tanganya memegang irus bidadari, kakinya menari, wajahnya menengadah ke atas. Tembang menjelma jadi ritme doa yang tiada henti, tak terasa sorepun datang. Nyi Randa serasa seperti kerasukan arwah, tanpa rasa cape dia masih mengumandangkan doa yang lambat laun terasa seperti mantram sakti untuk mengundang turunya bidadari. HAWA panas berubah jadi lebih dingin, tak tau darimana bermula, seperti mega menutup matahari, gelap menyelinap, dan dingin menusuk, bukan dingin karena malam tetapi dingin karena mendung, gerimispun datang, Nyi Randa belum sadar dengan situasi tersebut, dia masih menari dan bertahmid dengan mantramnya, gerimis berubah menjadi hujan, makin lama makin lebat. Air seperti di tuang dari angkasa, turun ke bumi, menyelinap di sela tanah yang sedang menganga karena haus akan datangnya hujan. Doa itu, mantram itu, Nyi Randa dengan irusnya telah melegenda di bumi Banyumas hingga sekarang. Sumber cerita dari teman saya Mas Yusmanto dari mBanyumas. FBnya Mas Yus Wong Banyumas. Gambar/foto dari http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2010/01/10/negeri-pelangi-peri-hujan-dan-mama/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun