Mohon tunggu...
Judith Chanutomo
Judith Chanutomo Mohon Tunggu... -

Manusia yang berusaha menyadari kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mata Buta, Mulut Terbuka: Cermin Demokrasi Indonesia

10 April 2016   21:27 Diperbarui: 10 April 2016   21:56 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

      Menilik narasi sejarah yang panjang, kita belajar bahwa kebenaran dan kekeliruan memiliki tempat-tempatnya yang khusus dalam setiap titik waktu. Kebenaran ada di dalam, di masa sekarang, sementara kekeliruan adalah milik masa lalu, di belakang, di luar. Regim yang berlaku kini senantiasa benar dan baik, sampai saatnya ia runtuh dihancurkan. Kebenaran lain akan mengubahnya jadi kekeliruan yang baru. Adalah kemenangan-kemenangan heroik atas kebenaran lama inilah akhir cerita yang khas dalam sejarah manusia.

      Menjadi bagian dari 18 tahun perjalanan reformasi, kita percaya bahwa akhirnya kita dapat mengecap demokrasi yang sejati. Di masa-masa sebelumnya, kedaulatan rakyat hanya tinggal nama yang tak pernah terwujud nyata. Tak ada keleluasaan untuk bertindak, untuk memilih, untuk berekspresi, untuk berbicara. Dan setelah segala kuasa otoritarian tumbang, berlarilah kita menyambut kebebasan. Janji reformasi, janji demokrasi, sudahkah terpenuhi?

     Mungkin perlu kita tilik apa yang terjadi hari ini. Siapa dapat menyangkal bahwa kini kebebasan bersuara sedemikian dijunjung tinggi? Siapa saja boleh bicara, mengemukakan segala gagasan yang dipunyai. Di media sosial, kita berhak menyebar kebohongan, berhak melakukan bully terhadap pihak-pihak yang menyedihkan, boleh menghina, boleh mempermalukan orang, bebas menyebar fitnah dan kebencian. Wartawan boleh membuat berita-berita palsu, sinetron bebas menayangkan adegan majikan membentak pembantu, mertua menampar menantu, dan televisi tak berkewajiban menampilkan konten yang bermutu.

      Hanya satu hal tetap harus menjadi tabu: seks. Dalam soal ini, KPI begitu alergi. Zaman sekarang adalah zaman edan, dan yang berbahaya bukan hanya paha dan payudara. Di era ini, orang dapat dengan mudah terangsang hanya karena melihat susu sapi. Tak percaya? Bila tidak, mengapa diburamkan gambarnya ketika tayang di televisi? Juga belahan dada bisa memicu orang untuk memerkosa, maka haruslah ia dipudarkan, supaya aman, meski janggal. Cipika-cipiki antarperempuan ketika saling menyapa dalam bincang televisi dapat menyebarkan “virus” LGBT, dan karenanya haruslah kamera dialihkan, untuk membuang muka dari hal yang tak sepantasnya.

      Inilah potret demokrasi, potret reformasi. Dengan mental yang infantil, segala disimplifikasi. Semua terbagi dalam dua kubu, dan hal-hal yang selama ini wajar tiba-tiba menjadi tabu. Siapa bilang ini pembatasan kebebasan? Justru ini merupakan sebuah bentuk perlindungan, agar mata khalayak terhindar dari segala yang tak aman, yang kotor dan haram. Sementara soal menyebar kebencian? Jangan berani membatasi kebebasan orang yang bicara atas nama Tuhan, sebab tak bisa tidak, mereka-mereka ini senantiasa benar.

      Mata buta, dengan mulut yang senantiasa terbuka. Ini cermin media kita, cermin masyarakat kita. Masyarakat yang katanya reformis, yang katanya demokratis, yang katanya Pancasilais. Berjayalah engkau dalam perlindungan Tuhanmu, sampai saatnya runtuh bentengmu oleh kebenaran yang baru.

Yogyakarta, 10 April 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun