Mohon tunggu...
Judith Chanutomo
Judith Chanutomo Mohon Tunggu... -

Manusia yang berusaha menyadari kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembelajaran Instrumental dan Emansipatoris dalam Komunikasi Lingkungan

25 Mei 2015   14:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:37 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pembangunan berkelanjutan merupakan isu utama dalam agenda kebijakan internasional, nasional, maupun lokal dalam berbagai bagian dunia. Di seluruh dunia, para pembuat kebijakan telah berusaha mencari cara menggunakan pendidikan serta strategi komunikasi untuk menciptakan sebuah dunia yang lebih berkelanjutan dari apa yang ada kini (Arjen, dkk., 2008). Sering kali, para pembuat kebijakan jutsru terjebak di antara penggunaan instrumental (perubahan perilaku) dan emansipatoris (pengembangan manusia) dari strategi-strategi ini. Hanya dengan memahami apa yang sedang dihadapi, barulah para pembuat kebijakan mampu memutuskan pendidikan, partisipasi, dan komunikasi macam apa yang paling tepat untuk diterapkan, hasil seperti apa yang dapat dicapai, dan sistem pengawasan dan evaluasi macam apa yang diperlukan.

Pemerintah Belanda misalnya, mempertimbangkan penggunaan EE (Environmental Education/ Pendidikan Lingkungan) serta LSD (Learning Sustainable Development/ Pembelajaran Pembangunan Berkelanjutan) sebagai kebijakan komunikasi untuk mempromosikan pentingnya pembangunan berkelanjutan kepada masyarakat (Arjen, dkk., 2008). Belakangan, efektivitas dari kebijakan Pendidikan Lingkunan telah dikaji oleh Netherland Environmental Assesment Agency (Solart, 2004 dalam Arjen, dkk., 2008). Kajian ini menemukan bahwa hanya sedikit informasi yang tersedia mengenai instrumen pendidikan untuk secara praktis mewujudkan pembangunan berkelanjutan di masyarakat. Terjadi kerancuan antara Pendidikan Lingkungan yang bersifat instrumental dan yang bersifat emansipatoris. Karenanya, perbedaan antara keduanya perlu terlebih dahulu dipaparkan secara jelas:

Pendidikan Lingkungan dan Komunikasi Instrumental

Dalam pendekatan instrumental, hasil dari perilaku yang diharapkan oleh Pendidikan Lingkungan dapat diprediksi dan diketahui terlebih dahulu, disetujui, dan dapat dipengaruhi oleh intervensi yang secara hati-hati dan teliti telah dirancang (Arjen, dkk., 2008). Secara sederhana, pendekatan Pendidikan Lingkungan instrumental dimulai dengan membentuk tujuan spesifik terkait dengan perilaku yang diharapkan, di mana “kelompok target” dipandang sebagai “penerima” pasif yang perlu diberi pemahaman melalui intervensi komunikasi yang efektif. Model-model yang mendasari pendekatan yang demikian telah menjadi lebih kompleks dan rumit dari model klasik seperti “kesadaran menuju perbuatan”yang muncul di tahun 1960-an hingga 1970-an. Dalam model ini terdapat beberapa entry point bagi pendidikan dan komunikasi lingkungan yang dapat digunakan. Penggunaan ini bergantung pada hasil analisis perilaku yang terlebih dahulu dilakukan sebelum melakukan intervensi, contohnya meningkatkan kesadaran akan permasalahan, memengaruhi norma sosial atau mengubah sikap, meningkatkan efikasi diri atau kendali personal, melalui kombinasi yang dirancang dengan teliti dan hati-hati.

Pemerintah di berbagai belahan dunia menggunakan dan mendukung ativitas edukasi dan strategi komunikasi untuk memengaruhi perilaku lingkungan dari warga negaranya melalui kampanye kesadaran, iklan layanan masyarakat, skema pelabelan dan sertifikasi lingkungan, serta program pendidikan lingkungan dan aktivitas yang secara gamblang menyatakan tujuannya bagi perilaku masyarakat (Arjen, dkk., 2008). Karakteristik dari proponen dan desainer dari pendekatan instrumental adalah pencariannya yang terus-menerus akan komunikasi yang lebih terartikulasi, hasil yang lebih terukur, dan indikator-indikator canggih untuk membuat intervensi menjadi lebih efektif dan membuktikan bahwa intervensi ini memang sungguh efektif. Penggunaan instrumental dari pendidikan lingkungan ini dikritik karena dianggap telah menggunakan pendidikan sebagai sarana untuk melakukan manipulasi serta indoktrinasi (Arjen, dkk., 2008). Namun, para proponen dari penggunaan pendidikan yang demikian menyatakan bahwa karena keadaan dunia sedang sangat genting, usaha macam apapun untuk menyelamatkannya dapat dihalalkan.

Pendidikan Lingkungan Emansipatoris

Dalam pendekatan emansipatoris, warga negara justru dilibatkan dalam dialog aktif untuk menentukan tujuan bersama didasari oleh pemahaman bersama mengenai tindakan perubahan yang memang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang sungguh dirasa ada (Arjen, dkk., 2008). Melalui pendekatan semacam ini, pemerintah berharap bahwa perubahan yang didasari oleh inisiatif sendiri ini mampu membawa kebaikan bagi pembangunan berkelanjutan secara utuh (Wals & Jickling, 2002 dalam Arjen, dkk., 2008). Dengan kata lain, tujuan dan cara mencapainya bukan sesuatu yan telah ditetapkan sedari awal secara top-down. Dalam proses pembelajaran sosial yang didukung oleh metode partisipatif ini dipandang sebagai mekanisme yang paling sesuai untuk mewujudkan suatu perubahan yang sifatnya emansipatoris dalam Pendidikan Lingkungan (van der Hoeven, dkk., 2007; Wals, 2007 dalam Arjen, dkk., 2008) serta manajemen lingkungan (Keen, dkk., 2005 dalam Arjen, dkk., 2008).

Pemerintah Belanda telah mengeluarkan kebijakan yang khususnya berfokus pada penyediaan ruang bagi partisipasi dari berbagai pihak yang terlibat (Arjen, dkk., 2008). Hal ini dilakukan untuk menciptakan suatu kondisi yang lebih berkelanjutan dari apa yang ada sekarang melalui kebijakan-kebijakan yang tidak sedari awal menentukan perilaku akhir yang spesifik, yang mampu mengakomodasi dan mendengar suara dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang minoritas dan bahkan termarginalisasi. Dalam memorandum mengenai Learning for Sustainable Development, pembelajaran sosial memiliki peran utama, di mana pembelajaran ini perlu didukung oleh seluruh stakeholders, warga negara, organisasi, agensi, dan struktur yang memadai. Namun, pandangan ini pun dikritik karena tidak semua pihak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sama mengenai apa yang baik dan buruk bagi lingkungan, dan ketika seluruh pihdak pada akhirnya telah teremansipasi, reflektif, dan kompeten, keadaan bumi telah terlanjur menjadi begitu parah hingga jauh lebih sulit untuk diperbaiki kembali.

Pendidikan, Komunikasi, dan Partisipasi Lingkungan Campuran

Sosiologis Belanda bernama Gert Spaargaren berusaha menggunakan teori strukturasi yang dikemukakan oleh Giddens untuk membandun sebuah model yang dapat menghubungkan pendekatan actor-oriented dengan pendekatan structure-oriented (Arjen, dkk., 2008). Di sini, perhatian difokuskan pada praktik-praktik sosial di mana agensi manusia dimediasi oleh gaya hidup. Model yang demikian dapat menjadi jembatan bagi pendekatan yang bersifat instrumental dengan yang emansipatoris, di mana terdapat saling keterhubungan antara agensi dengan struktur melalui praktik-praktik sosial. Dalam penerapannya, pemerintah memberi penekanan pada pentingnya partisipasi warga negara dalam pemerintahan.

Referensi

Wals, A. E. J., dkk. (2008). “All Mixed Up? Instrumental and Emancipatory Learning Toward a More Sustainable World: Considerations for EE Policymakers”. Applied Environmental Education and Communication, 7: 55-65.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun