Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Siapa Pun Pemenangnya yang Kalah Tetap Saya; Rakyat Jelata

26 September 2014   23:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:22 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertahun-tahun sejak saya secara konstitusional memiliki hak suara untuk memilih dan dipilih, saya tidak menggunakan hak tersebut.Saya tidak memilih, karena saya merasa tidak yakin dengan orang yang nantinya mewakili saya, dan memimpin saya. Sehingga saya memilih untuk tidak memilih. Meski begitu, akhirnya tahun ini saya ikut memilih. Karena menurut saya, ternyata ketika saya memberikan suara di TPS, ada dampak yang signifikan bagi kamajuan bangsa. Hal menjadikeyakinan saya, karena saya melihat kecenderungannya. Sementara untuk di pilih, saya ini bukan siapa-siapa, jadi jelas poin itu tidak akan saya bicarakan. Meski saya memiliki hak untuk itu. Saya cukup tahu dirilah, bahkan jadi pilihan istri saja sudah syukur luar biasa.

Ternyata kecenderungan baik dari amatan saya itu, berbeda dengan amatan para wakil saya yang saya pilih untuk pertama kalinya itu. Mereka melihat bahwa saya belum cerdas untuk memilih pemimpin saya sendiri. Kasusnya bertebaran di mana-mana di pelosok negeri, gara-gara orang seperti saya ini memilih sendiri pemimpinnya, para pemimpin itu jadi terjerumus ke lembah nista; dipenjara KPK. Coba kalau tidak dipilih orang-orang seperti saya, pasti mereka tidak menjadi gubernur, walikota atau bupati. Dan mungkin saat ini mereka masih bisa bercengkerama dengan istri-istri mereka. Tidak ada jabatan, tentu tidak ada proyek untuk di korupsi.

Padahal saya ingat betul, mereka para wakil saya itulah yang dulu nyodor-nyodorin foto ke rumah saya. “Jangan lupa ya pak coblos …., amanah, akan bekerja untuk orang seperti bapak.” (Baca = rakyat jelata ). Jika kemudian ketahuan boroknya, orang-orang seperti saya juga yang disalahin. Gara-gara orang-orang seperti saya biaya Pemilu jadi mahal. Padahal seingat saya, orang-orang seperti saya ini tidak pernah minta. Tetapi kalau diberi, pamali kalau tidak diterima. Meski apa yang diberikan itu belum tentu saya gunakan. Tetapi ini bentuk penghormatan. Wong saya masih bisa beli beras sama indomie sendiri, lebih banyak malah.

Lalu beberapa minggu ini, banyak orang yang berkomentar, bahwa jika saya memilih pemimpin sendiri, itu tidak mencerminkan diri saya sebagai orang Indonesia. Katanya ; demokrasi Indonesia itu demokrasi perwakilan, itu sesuai dengan sila ke empat. Tetapi mereka tidak menjelaskan, kenapa saya harus memilih mereka menjadi wakil saya dengan nama DPR/DPRD ? Kan sebenarnya nilainya sama. Pada kasus ini, saya memilih wakil saya untuk menjadi pemimpin (saya memberi amanat wakil saya untuk menjadi pemimpin (eksekutif) negeri ini), jadinya saya tidak perlu ikut-ikutan menjadi pemimpin negeri ini. Kok yang pertama dianggap sesuai, kenapa yang kedua tidak sesuai sila ke 4? Padahal, tahun ini saya lagi seneng-senengnya ikut pemilihan, memanfaatkan hak saya yang lama terbengkalai.

Ternyata wakil-wakil saya ini ngelunjak, pokoknya saya tidak boleh menentukan pemimpin sendiri ; nanti pasti tidak amanah. Lah yang punya hak itu kan saya, kalau selama ini saya tidak gunakan, juga bukan berarti boleh diambil seenaknya. Lalu jika sekarang saya gunakan, dan mereka kini jadi wakil-wakil saya ; bukan berarti saya terus kehilangan seluruh hak saya karena telah saya wakilkan. Jika untuk banyak hal, bolehlah saya wakilkan ; tetapi untuk sesuatu yang dapat menentukan baik buruknya hidup saya dan anak cucu saya, itu tetap milik saya.

Ternyata tadi malam, saya kecolongan, apa yang saya yakini sebagai hak saya itu, ternyata tidak akan lagi melekat pada diri saya. Mereka yang berhasil mengambil, bersyukur. Tetapi justru saya melihat keanehan ; orang-orang seperti saya banyak yang tidak merasa kehilangan. Bahkan mereka menganggap, ini adalah kemenangan Prabowo atas Jokowi. Padahal, ini samasekali bukan tentang mereka. Ini tentang saya dan orang-orang seperti saya, yang tidak akan menikmati bagaimana indahnya merasakan perbedaan, dan puasnya menentukan pemimpin meski kalah. Sebab ini bukan tentang menang atau kalah, tetapi kepuasan menentukan ‘jodoh’ saya sendiri. Dan jika hak itu tetap melekat pada diri saya, berarti diri saya utuh sebagai bagian dari bangsa dan Negara ini. Tetapi jika, untuk yang paling prinsipil pun saya masih harus dipilihkan, manusia seperti apa saya ini?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun