APBN 2026 disahkan dengan nilai Rp 3.842,7 triliun, dengan defisit 2,68 persen dari PDB. Pemerintah berjanji tidak menambah pajak baru, namun tetap harus mencari cara untuk menutup celah defisit. Di sini muncul risiko: "penerimaan kreatif" atau strategi pembiayaan yang pada akhirnya bisa membebani rakyat kecil.
Pertanyaan penting pun mengemuka: apakah rakyat benar-benar akan merasakan manfaat dari belanja negara sebesar itu dalam bentuk pendidikan yang murah, layanan kesehatan yang adil, dan harga pangan yang terjangkau? Ataukah, seperti di masa kolonial, kita hanya menyaksikan angka-angka megah di atas kertas yang menutupi beban hidup sehari-hari?
Pelajaran dari Sejarah
Sejarah kolonial mengajarkan bahwa angka surplus atau defisit hanyalah alat, bukan tujuan. Di masa lalu, alat itu digunakan untuk memperkuat kekuasaan kolonial, bahkan dengan mengorbankan rakyat. Kini, ketika kita mengelola anggaran sendiri, seharusnya alat itu dipakai untuk kepentingan rakyat banyak, bukan sekadar kepentingan elite politik atau birokrasi.
Jika dulu rakyat dijadikan bantalan fiskal, maka kini tugas kita memastikan rakyat menjadi pusat kebijakan. Transparansi anggaran, keberpihakan pada kelompok miskin, dan akuntabilitas mutlak diperlukan. Angka-angka besar baru berarti bila mampu mengubah hidup rakyat ke arah yang lebih baik.
Sejarah memberi kita cermin. Dari tanam paksa hingga pajak kolonial, kita melihat betapa mudahnya anggaran berubah menjadi instrumen pemerasan alih-alih kesejahteraan. Kini, saat kita mengelola APBN sendiri, pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan membiarkan anggaran kembali menjadi beban, atau menjadikannya janji nyata bagi kesejahteraan rakyat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI