Mohon tunggu...
Julius Deliawan A.P
Julius Deliawan A.P Mohon Tunggu... https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Julius Deliawan A.P adalah seorang guru dan penulis reflektif tentang pendidikan, sejarah, kemanusiaan, sosial dan politik (campur-campurlah). Lewat tulisan, mencoba menghubungkan pengalaman di kelas dengan isu besar yang sedang terjadi. Mengajak pembaca bukan hanya berpikir, tetapi juga bertindak demi perubahan yang lebih humanis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Pajak Kolonial dan Pelajaran Untuk APBN 2026

26 September 2025   07:20 Diperbarui: 25 September 2025   22:36 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa artinya angka triliunan dalam APBN kalau rakyat tetap susah bayar sekolah, beli beras, atau berobat ke puskesmas? Sejarah pernah mencatat, "surplus" yang dipuji-puji pemerintah justru berdiri di atas penderitaan rakyat. Pertanyaannya: apakah kita sedang mengulang pola lama dengan wajah baru?

Surplus Tanam Paksa

Pada 1830, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memperkenalkan Cultuurstelsel, sistem tanam paksa yang mewajibkan rakyat Jawa menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila di sebagian lahannya. Kebijakan ini menjadi penyelamat negeri Belanda yang sedang bangkrut akibat perang dan krisis.

Selama hampir setengah abad, dari 1830 hingga 1877, Hindia Belanda berhasil menyumbangkan lebih dari 800 juta gulden ke kas negara induk. Angka yang fantastis itu membuat Belanda mampu keluar dari krisis dan bahkan kembali membangun.

Namun, di balik surplus yang tampak megah, penderitaan rakyat membuncah. Sawah-sawah padi yang seharusnya memberi makan keluarga justru diganti tanaman ekspor yang hasilnya dikirim ke Eropa. Di banyak daerah, paceklik berubah menjadi kelaparan massal. Kepala desa ditekan agar memenuhi target setoran, sementara rakyat kehilangan kendali atas tanah dan tenaganya. Surplus yang dipuji parlemen Belanda pada dasarnya berdiri di atas tragedi kemanusiaan di tanah Jawa.

Pajak Sebagai Penopang Baru

Setelah tanam paksa menuai kritik internasional dan perlahan dihapus sekitar 1870, pemerintah kolonial menghadapi dilema baru: bagaimana menutup kas negara tanpa sistem kerja paksa? Jawaban mereka sederhana---pajak.

Pajak tanah diberlakukan secara luas, sementara pajak kepala atau hoofdgeld menambah beban rakyat. Tidak berhenti di situ, pada 1908 lahir pajak penghasilan pertama di Hindia Belanda. Semua inovasi fiskal ini lahir bukan karena kesadaran untuk membangun kesejahteraan rakyat, melainkan demi menjaga stabilitas keuangan kolonial. Lagi-lagi, rakyat menjadi bantalan yang menanggung beratnya kebutuhan kas pemerintah.

Cermin Masa Kini

Hampir dua abad berlalu, negeri ini telah merdeka dan punya parlemen sendiri, mekanisme pengawasan, serta ruang publik untuk kritik. Tetapi pola lama kadang masih terasa samar.

APBN 2026 disahkan dengan nilai Rp 3.842,7 triliun, dengan defisit 2,68 persen dari PDB. Pemerintah berjanji tidak menambah pajak baru, namun tetap harus mencari cara untuk menutup celah defisit. Di sini muncul risiko: "penerimaan kreatif" atau strategi pembiayaan yang pada akhirnya bisa membebani rakyat kecil.

Pertanyaan penting pun mengemuka: apakah rakyat benar-benar akan merasakan manfaat dari belanja negara sebesar itu dalam bentuk pendidikan yang murah, layanan kesehatan yang adil, dan harga pangan yang terjangkau? Ataukah, seperti di masa kolonial, kita hanya menyaksikan angka-angka megah di atas kertas yang menutupi beban hidup sehari-hari?

Pelajaran dari Sejarah

Sejarah kolonial mengajarkan bahwa angka surplus atau defisit hanyalah alat, bukan tujuan. Di masa lalu, alat itu digunakan untuk memperkuat kekuasaan kolonial, bahkan dengan mengorbankan rakyat. Kini, ketika kita mengelola anggaran sendiri, seharusnya alat itu dipakai untuk kepentingan rakyat banyak, bukan sekadar kepentingan elite politik atau birokrasi.

Jika dulu rakyat dijadikan bantalan fiskal, maka kini tugas kita memastikan rakyat menjadi pusat kebijakan. Transparansi anggaran, keberpihakan pada kelompok miskin, dan akuntabilitas mutlak diperlukan. Angka-angka besar baru berarti bila mampu mengubah hidup rakyat ke arah yang lebih baik.

Sejarah memberi kita cermin. Dari tanam paksa hingga pajak kolonial, kita melihat betapa mudahnya anggaran berubah menjadi instrumen pemerasan alih-alih kesejahteraan. Kini, saat kita mengelola APBN sendiri, pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan membiarkan anggaran kembali menjadi beban, atau menjadikannya janji nyata bagi kesejahteraan rakyat?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun