Apa artinya angka triliunan dalam APBN kalau rakyat tetap susah bayar sekolah, beli beras, atau berobat ke puskesmas? Sejarah pernah mencatat, "surplus" yang dipuji-puji pemerintah justru berdiri di atas penderitaan rakyat. Pertanyaannya: apakah kita sedang mengulang pola lama dengan wajah baru?
Surplus Tanam Paksa
Pada 1830, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memperkenalkan Cultuurstelsel, sistem tanam paksa yang mewajibkan rakyat Jawa menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila di sebagian lahannya. Kebijakan ini menjadi penyelamat negeri Belanda yang sedang bangkrut akibat perang dan krisis.
Selama hampir setengah abad, dari 1830 hingga 1877, Hindia Belanda berhasil menyumbangkan lebih dari 800 juta gulden ke kas negara induk. Angka yang fantastis itu membuat Belanda mampu keluar dari krisis dan bahkan kembali membangun.
Namun, di balik surplus yang tampak megah, penderitaan rakyat membuncah. Sawah-sawah padi yang seharusnya memberi makan keluarga justru diganti tanaman ekspor yang hasilnya dikirim ke Eropa. Di banyak daerah, paceklik berubah menjadi kelaparan massal. Kepala desa ditekan agar memenuhi target setoran, sementara rakyat kehilangan kendali atas tanah dan tenaganya. Surplus yang dipuji parlemen Belanda pada dasarnya berdiri di atas tragedi kemanusiaan di tanah Jawa.
Pajak Sebagai Penopang Baru
Setelah tanam paksa menuai kritik internasional dan perlahan dihapus sekitar 1870, pemerintah kolonial menghadapi dilema baru: bagaimana menutup kas negara tanpa sistem kerja paksa? Jawaban mereka sederhana---pajak.
Pajak tanah diberlakukan secara luas, sementara pajak kepala atau hoofdgeld menambah beban rakyat. Tidak berhenti di situ, pada 1908 lahir pajak penghasilan pertama di Hindia Belanda. Semua inovasi fiskal ini lahir bukan karena kesadaran untuk membangun kesejahteraan rakyat, melainkan demi menjaga stabilitas keuangan kolonial. Lagi-lagi, rakyat menjadi bantalan yang menanggung beratnya kebutuhan kas pemerintah.
Cermin Masa Kini
Hampir dua abad berlalu, negeri ini telah merdeka dan punya parlemen sendiri, mekanisme pengawasan, serta ruang publik untuk kritik. Tetapi pola lama kadang masih terasa samar.