Beberapa tahun lalu, saya menulis tentang galian dan perubahan sosial, bagaimana aktivitas menggali jalan dapat dibaca sebagai simbol kebutuhan modern: internet cepat, listrik stabil, layanan digital yang serba instan ( baca disini ). Namun, hari ini saya merasa perlu menulis lebih tajam: galian bukan lagi sekadar simbol urbanisasi, melainkan cermin buruknya tata kelola kota dan lemahnya tanggung jawab sosial perusahaan serta pemerintah.
Penutupan Asal-asalan: Ancaman Nyata
Mari kita bicara apa adanya. Banyak perusahaan galian menutup kembali jalan yang mereka bongkar dengan sangat asal-asalan. Aspal yang sebelumnya mulus berubah jadi bergelombang. Bagi pengendara motor, kondisi ini bukan sekadar gangguan kecil, melainkan ancaman keselamatan. Jalan yang tadinya berfungsi baik kini menjadi jebakan.
Seharusnya, aturan mainnya jelas: jalan yang digali harus dikembalikan sesuai kualitas semula. Tetapi faktanya, mayoritas kontraktor hanya menambal dengan bahan seadanya. Hasilnya? Infrastruktur publik hancur, masyarakat menanggung risiko.
Saluran Got yang Rusak, Banjir yang Diwariskan
Lebih parah lagi, galian kerap merusak saluran got di pinggir jalan. Pipa pecah, beton patah, saluran terputus. Setelah pekerjaan selesai, tidak ada upaya pemulihan berarti. Begitu musim hujan datang, got mampet, air meluap, banjir pun menjadi warisan baru bagi warga. Siapa yang peduli? Kontraktor sudah selesai, pemerintah bungkam, masyarakat kembali jadi korban.
Relokasi Kabel yang Tidak Transparan
Saya sering menjumpai papan bertuliskan "Relokasi Kabel Optik" di titik galian. Tetapi anehnya, kabel udara tetap terlihat semrawut, menggantung di atas jalan. Relokasi macam apa yang hasilnya tidak tampak? Apakah benar kabel benar-benar dipindahkan ke bawah tanah? Atau ini hanya sekadar proyek pengulangan yang lebih menguntungkan kontraktor daripada memberi solusi nyata? Transparansi hampir tidak ada, dan masyarakat tidak punya ruang untuk mempertanyakannya.
Pemerintah: Pengawas yang Tidur
Pertanyaan besar ada di sini: di mana pemerintah? Di Pondok Gede, misalnya, galian terjadi silih berganti. Satu galian belum tertutup rapi, sudah muncul galian lain oleh kontraktor berbeda. Ini bukan sekadar masalah teknis, ini kegagalan tata kelola. Tidak ada koordinasi antarinstansi, tidak ada standar yang ditegakkan, dan tidak ada sanksi tegas bagi pelanggar.
Kalau pemerintah hanya diam, maka galian jalan tidak lebih dari ladang proyek tanpa akhir, yang melahirkan ketidaknyamanan publik secara terus-menerus.
Biaya Sosial: Masyarakat yang Membayar
Semua persoalan ini bermuara pada satu hal: masyarakatlah yang membayar harga termahal. Waktu perjalanan semakin lama karena jalan rusak, biaya perawatan kendaraan meningkat, risiko kecelakaan bertambah. Ironis sekali: proyek yang katanya demi modernitas justru menciptakan kemunduran dalam kenyamanan hidup sehari-hari.
Modernitas atau Malpraktik Infrastruktur?
Kalau dulu saya menulis bahwa galian adalah simbol modernitas, hari ini saya harus merevisi diri saya sendiri: galian juga simbol malpraktik infrastruktur. Modernitas yang seharusnya memudahkan hidup warga justru diwarnai dengan manajemen yang amburadul, kontraktor yang abai, dan pemerintah yang tak serius mengawasi.
Sudah saatnya kita bicara tegas: setiap galian harus dipertanggungjawabkan, setiap jalan harus dikembalikan sesuai kualitas awal, setiap saluran harus dipulihkan, dan setiap proyek harus diawasi dengan ketat. Tanpa itu semua, kita hanya akan terus hidup dalam siklus galian tanpa akhir, jalan yang hancur, got yang mampet, kabel yang tidak jelas, dan pemerintah yang pura-pura tidak tahu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI