Mohon tunggu...
Julius Deliawan A.P
Julius Deliawan A.P Mohon Tunggu... https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Julius Deliawan A.P adalah seorang guru dan penulis reflektif tentang pendidikan, sejarah, kemanusiaan, sosial dan politik (campur-campurlah). Lewat tulisan, mencoba menghubungkan pengalaman di kelas dengan isu besar yang sedang terjadi. Mengajak pembaca bukan hanya berpikir, tetapi juga bertindak demi perubahan yang lebih humanis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film

Promosi Terbalik : Saat Kelemahan Jadi Magnet Penonton

21 Agustus 2025   08:13 Diperbarui: 20 Agustus 2025   20:25 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://megapolitan.kompas.com/read/2025/08/15/05393081/merah-putih-one-for-all-akhirnya-tayang-apa-kata-penonton

Film Merah Putih: One For All hadir dengan beban ganda: di satu sisi membawa ambisi besar mengibarkan semangat kebangsaan lewat medium animasi, di sisi lain harus berhadapan dengan ekspektasi publik yang makin kritis. Bila menilik ulasan para penulis Kompasiana, tampak jelas pola yang berulang: semangat dan niat nasionalisme film ini diakui, namun kelemahan visual, cerita, serta eksekusi teknis begitu dominan hingga menutupi pesan besar yang hendak disampaikan.

Namun, ada satu sisi lain yang jarang disentuh: strategi promosi film ini. Banyak penonton justru terpancing bukan karena trailer atau testimoni yang menonjolkan kualitas baik, melainkan karena keinginan untuk "menguji" sejauh mana kelemahannya. Fenomena ini membalik teori promosi klasik: biasanya, film dipromosikan dengan menonjolkan keunggulan agar menimbulkan rasa penasaran. Dalam kasus ini, rasa penasaran muncul justru karena isu-isu negatif yang beredar. Alih-alih menutup peluang, strategi ini malah berhasil menggerakkan massa untuk menonton---meski sebagian datang dengan niat mengkritik, bukan menikmati. Di sini, tim pemasaran patut mendapat catatan tersendiri: mereka mungkin memahami psikologi audiens digital yang kini cenderung ingin "membuktikan sendiri" kualitas suatu karya yang kontroversial.

Dari sisi karya, para penulis Kompasiana hampir bulat sepakat bahwa film ini terasa "belum selesai". Animasi kaku, karakter kurang hidup, dan cerita yang tidak mengalir menjadikan pesan nasionalisme yang besar terhambat sampai ke penonton. Beberapa bahkan menyebut pesan kebhinekaan yang ingin disampaikan akhirnya "tak sampai" karena tertutup kelemahan teknis. Namun, ada pula suara minoritas yang menekankan bahwa makna kebangsaan tetap bisa diambil, meski bungkusnya tidak sempurna.

Di titik inilah pandangan tentang promosi dan ulasan publik saling bertemu. Ketika film hadir dengan kualitas yang dipersepsikan lemah, kritik deras datang dari berbagai penjuru. Tetapi, ironisnya, kritik itu pula yang menambah visibilitas film, menaikkan jumlah penonton, dan akhirnya dicatat sebagai prestasi dari sisi komersial. Sebuah paradoks: film yang dikritik habis-habisan justru mendapat eksposur luas dan menjadi bahan pembicaraan nasional.

Objektifnya, kita bisa menyebut Merah Putih: One For All sebagai karya yang secara niat patut dihargai, tetapi secara eksekusi tidak memenuhi standar yang diharapkan. Refleksinya: mungkin inilah wajah industri kreatif kita saat ini, masih berjuang antara ambisi besar dan keterbatasan teknis. Namun, keberanian untuk mencoba, meski hasilnya menuai kritik, tetap bagian dari proses pertumbuhan.

Di sisi lain, pelajaran menarik datang dari cara promosi film ini. Bukan kualitas teknis yang menjadi daya tarik, melainkan keinginan publik untuk mencari celah kritik. Dalam logika pasar, hal ini tetap berarti film berhasil menembus kesadaran kolektif masyarakat. Pertanyaan reflektifnya: apakah kita ingin terus menormalisasi model promosi seperti ini, atau justru mendorong agar karya berikutnya benar-benar membuat penonton datang karena penasaran pada keunggulannya, bukan pada kelemahannya?

Akhirnya, Merah Putih: One For All menjadi cermin. Ia menunjukkan betapa kuatnya daya tarik nasionalisme sebagai ide, tetapi juga memperlihatkan kerasnya ekspektasi publik terhadap kualitas teknis. Ia memperlihatkan betapa kritik bisa menjadi promosi tak terduga, namun sekaligus mengingatkan bahwa kritik hanyalah "pembuka jalan." Yang lebih penting adalah bagaimana industri ini belajar, memperbaiki, dan membuktikan bahwa nasionalisme bisa disampaikan dengan karya yang benar-benar memikat, bukan sekadar "ramai karena cacatnya."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun