Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi, Kesepian, dan Kekuatan Seorang Guru Bertahan

31 Desember 2020   14:48 Diperbarui: 31 Desember 2020   15:25 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: unsplash.com

Sejak maret yang lalu, Yayasan memutuskan proses pembelajaran dilangsungkan dari rumah. Pasca pemerintah juga memutuskan hal yang sama. HIngga hari ini, tidak pernah ada tatap muka, baik terhadap sesama pengajar, apalagi dengan siswa. Semua hanya berlangsung dari layar kecil, yang adakalanya membuat mata dan kepala nyut-nyutan itu.

Banyak yang telah membahas bagaimana teknologi berperan, menghubungkan antara satu dengan yang lainnya, dari dalam ruang-ruang sunyi mereka sendiri. Isolasi bukan berarti kehilangan akses terhadap informasi. Semua masih berjalan "normal" tanpa hambatan. Gosip masih terus berlangsung, bahkan semakin ramai, sebab waktu yang tersedia semakin melimpah.

Teknologi memberi banyak kesempatan mereka yang "menyepi" memiliki banyak peluang untuk mengisi waktu. Melalui beragam aplikasi. Baik sekedar bersenang-senang, atau juga termasuk mencari peluang-peluang baru ekonomi. Bisnis webinar merangkak naik,  menunjukkan eksistensinya, baik hari ini atau barangkali nanti, ketika pandemi benar-benar dinyatakan berakhir. Juga bisnis lainnya yang sebelumnya telah memanfaatkan teknologi daring, pasti perkembangannya semakin menggembirakan.

Sebagai guru seperti saya, apakah semua ini masih benar dapat berjalan baik-baik saja. Jawaban singkatnya, pasti tidak, semua juga akan mengatakan demikian, karena itu fakta yang dirasakan semua. Tetapi saya tidak akan mengulas gejala umumnya, ini lebih spesifik dari apa yang saya rasakan. Sehingga sentuhannya lebih personal. Meski barangkali banyak yang mengalami juga seperti saya.

Rasa  Kesepian

Celotehan di kelas Ketika mengajar, adakalanya menyebalkan. Apalagi celotehannya tidak terkait dengan materi yang sedang dibahas. Misal ketika sedang asyiknya bahas materi, ada saja yang angkat tangan. Kadang suka ge er, ini anak pasti lagi serius menyimak dan ingin bertanya, tapi ujung-ujungnya Cuma bilang ; "pak, bolehkah saya ijin ke belakang, kebelet !" Kesel, tetapi sekarang momen-momen menjengkelkan itu ternyata menghibur juga.

Cerita lucu, Ketika onsite terasa menyegearkan. Sekarang tampak lebih garing, karena nyaris tanpa respon. Seandainya pun ada yang tertawa, Cuma tampak dari bibir mereka yang terangkat, dari kotak kecil. Tanpa suara, mirip layar hitam putih TV jadul dari serial Charlie Chaplin. 

Saya jadi membayangkan beban berat seorang penyiar radio. Mereka harus tetap terdengar menghibur, meski barangkali mereka kesepian di ruang sunyi studionya. Bedanya kadang suara saya harus bersaing dengan bunyi nyaring minyak panas menggoreng sesuatu dari dapur kerja istri saya, yang bersebelahan dengan "studio" saya mengajar. Karena sebelum pandemi 'lupa' bikin sekat, apalagi di situ posisi sinyal terkuat.

Teknologi memang memungkinkan para siswa menghadirkan diri di layar computer, karena kebijakan, kehadiran dikelas diperhitungkan dari hal tersebut. Tetapi teknologi yang mereka kuasai juga memungkinkan mereka untuk memanipulasi kehadiran. Wajahnya ada, tetapi Ketika diminta menjawab pertanyaan, tidak ada respon. Sebab ternyata mereka menampilkan rekamannya, sementara mungkin saja orangnya melanjutkan tidur.

Jika larut terbawa perasaan, istilahnya "baperan", ini benar-benar menguras energi. Bisa jadi uring-uringan karena dibohongi, tetapi yang lebih menyakitkan diabaikan. Ketika onsite, tentu ini dapat dengan mudah diatasi. Urusannya hanya guru dan siswa yang mengabaikan itu. Tetapi saat ini, Ketika menegur, bisa saja teguran itu di dengar oleh ratusan pendengar lain yang sedang memantau kelas. Salah kalimat, bisa jadi masalah. Urusan sederhana menjadi tidak mudah.

Belum lagi soal aktifitas yang mereka lakukan ketika menyimak materi. Tidak ada yang tahu pasti. Mungkin saja mereka sedang mendengarkan music, menonton drama korea, membaca novel, atau melakukan hal lainnya. Kadang wajahnya kelihatan tersenyum, padahal saya sedang tidak menyampaikan hal yang dapat membuat tertawa. 

Jika onsite, kita tidak tahu apa yang sedang siswa pikirkan, tetapi online bukan hanya soal pikiran, yang tampak di depan mata pun sebenarnya kita tidak tahu. Apa sih yang sedang mereka kerjakan? Belum lagi ada yang dengan beragam dalih, mematikan kameranya. Hanya kotak hitam dengan nama tertera di sana. Apakah saya benar-benar di dengarkan?

Lantas cukupkah dengan keluhan?

Pandemi Memberi Ruang Introspeksi

Mengeluh tidak pernah menyelesaikan masalah. Mengubah keadaan, juga membutuhkan energi yang tidak kecil, belum lagi tidak mudah dan belum tentu berhasil. Ada begitu banyak hal yang berada di luar jangkauan lingkaran pengaruh yang bisa saya kerjakan. Maka hal terbaik adalah mentaati pandangan para bijak; sebelum mengubah dunia, ubahlah diri kita sendiri. Bisa mulai dari cara kita melihat situasi dengan sudut pandang yang berbeda. Introspeksi, itulah salah satu tahapan yang dapat dikerjakan.

Work From Home, selain menantang juga memiliki cukup ruang untuk menikmati kesendirian. Memberi waktu berlimpah-limpah untuk me time, tinggal mengoptimalkan kenyataan tersebut, menjadi bermakna atau berlalu begitu saja.

Ketimbang hanya mengeluh, maka saya mencoba menemukan sesuatu yang dapat membuat saya memiliki gairah, meski tidak mudah. Dan dalam kesunyian itu saya jadi berpikir tentang apa artinya menjadi seorang guru. Ini bukan tentang memperbaharui komitmen, bukan itu, tetapi melihat lebih dalam dari apa yang diungkapkan oleh para ahli pendidikan.

Membangun mimpi itu penting sebagai seorang pendidik,  tetapi dasar untuk hal itu adalah keihklasan dan kepercayaan. Sebab mimpi ini tidak bisa dibangun sendirian tetapi bersama. Mengajar juga bukan soal memberikan dan siswa harus menerima, tetapi saling memberi agar proses menjadi penuh arti.

Merasa diabaikan, itu menyakitkan, tetapi membangun prasangka positif bisa dimulai dari menyelidiki kata "merasa". Jika berprasangka negatif membuat pembelajaran online terasa lebih sulit, maka saya belajar tidak membangun ekspektasi bahwa mereka semua harus mendengarkan saya. Beban itu lebih ringan, meski energi yang saya gunakan tetap untuk semua. Seberapapun mereka yang komit dengan proses bersama, itu adalah yang Tuhan sediakan untuk saya hari itu. Saya harus mensyukurinya. Setidaknya ini membuat mental saya kuat dan tidak mempengaruhi daya tahan tubuh saya. Sebagai modal penting untuk bertahan di masa pandemi.

Sebab sepertinya meski tahun 2020 ini akan segera berakhir. Pandemi ini masih sulit untuk diperkirakan kapan berakhir. Sehingga kita masih harus punya banyak energi untuk bertahan. Selamat menyepi untuk menutup tahun ini, dan merayakan tahun berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun