Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhenti Mengidentikkan Rasa Malu dengan Kemaluan

6 Juli 2018   08:00 Diperbarui: 6 Juli 2018   09:00 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://sains.kompas.com

Kemaluan dan rasa malu itu ternyata dua hal yang berbeda. Tetapi, ada juga yang maksa, keduanya itu sama. Bahkan mereka nekad mengidentikkan, rasa malu itu 'cuma' (catet ya; cuma) di kemaluan.

Jika lihat maling, senyum-senyum di depan mata orang yang dimalingi. Pikiran kita pasti langsung bilang, nih orang sudah gila. Tetapi nyatanya, hasil ct scan, kabel otaknya normal. Tidak ada yang belibet. Hasil tes psikologi, sehat jasmani dan rohani. Tetapi tidak ada mimik murung, apalagi menyesal. Kadang masih berani mengepalkan tangan. Petugas yang nangkep, bertukar peran jadi penjahatnya. Model beginian, bejibun di KPK. Cek deh, rasa malu bagi mereka ini hanya soal kemaluan. Kalau sudah ditutup, beres!

Sudah jelas maling. Masih di bela. Membabi buta lagi ngebelanya. Maling ini kan tidak salah, kok hak-haknya mau dihilangkan. Nggak boleh nyaleg misalnya. Situ saja yang salah, letakin barang sembarangan. Jangan beli barang-barang donk kalau nggak mau kemalingan. Pasti kita bilang, nih orang logikanya keblinger. Tetapi, model beginian juga nggak kurang stok. Cek lagi, orang-orang ini pasti nutup kemaluannya sudah rapet.

Apa-apa dikomentarin. Orang lain nggak ada baik-baiknya. Membangun salah, nggak membangun apalagi. Bahkan membahas komoditas yang paling berharga pun, yang ketangkep malah racunnya. Esensinya kabur. Pakai diributin lagi. Padahal bukan esensinya. Lagi, orang-orang ini juga pasti kemaluannya nggak dipamerin.

Salah, Pe de. Abis itu ngeles. Tidak cukup segitu, masih pakai acara nyalahin orang lain. Merasa paling benar sendiri. Langit bagi mereka itu sudah mentok. Di atas langit masih ada langit tidak berlaku. Tidak mengenal kata, introspeksi. Model begini juga pasti kemaluannya terbungkus rapi.

Menutup kemaluan memang harus, tetapi itu bukan berarti menamatkan rasa malu. Karena kemaluan bukanlah satu-satunya perangkat yang dapat menunjukkan rasa malu. Rasa malu terkait dengan nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat. Melanggar, ya semestinya nuraninya bekerja dan rasa malu menggeliat mempengaruhi pikiran. Jika itu yang terjadi, berarti hati nuraninya masih bekerja. Perbaikan prilaku kemudian menjadi upaya yang tampak dipermukaan.

Setidaknya ada mimik menyesal ketika mengenakan baju oranye KPK, bukan malah bangga. Nih, gue akhirnya bisa ketangkep juga. Kan bukan begitu. Salah, hatinya tergerak untuk minta maaf. Bukan malah cari-cari pembenar lain.

Objektif dalam melihat. Mengkritik itu bukan mencibir. Pribadi terhormat itu bukan mencari perhatian, tetapi dihormati karena melakukan pekerjaan. Tidak bekerja tetapi mencela, itu mempermalukan diri sendiri. Nuraninya mestinya mengingatkan, loe udah jadi bahan tertawaan. Berhenti. Lantas introspeksi. Kecuali jika nuraninya sudah digadai.

Ingat ya, menutup kemaluan, itu bukan berarti menghentikan rasa malu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun