Dalam aksi demonstrasi menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila atau HIP beberapa hari lalu memunculkan dua kejadian penting.
Pertama, adanya pembakaran bendera PDIP sebagai bentuk dari serangan terhadap PDIP itu sendiri dan kedua adalah massa aksi meminta agar MPR menggelar sidang memberhentikan Presiden Jokowi.
Ketua Pelaksana Pergerakan Aksi PA 212 dkk Edy Mulyadi mengatakan,"Kita minta mendesak agar MPR menggelar sidang istimewa untuk memberhentikan Presiden Jokowi" dilansir dari detik.com, 24/6/2020.
Selain itu, Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP mengatakan," Serangan ke PDIP punya tujuan lebih jauh, mengganggu pemerintahan Pak Jokowi dilansir dari Tempo.co, 26/6/2020.
Keduanya yang diberitakan itu tentu sangat politis. Gerakan demonstrasi mempunyai tujuan lain yang sepatutnya tidak dilakukan.
Jelas, demonstrasi adalah bagian dari demokrasi yang diberikan oleh Undang-undang kepada warganegara dalam menyampaikan pendapat dan aspirasinya, namun kalau diselipi tujuan lain agak aneh juga.
Bagaimana mungkin demonstrasi terkait penolakan RUU HIP dikaitkan dengan pemberhentian Presiden Jokowi melalui sidang istimewa MPR. Itu tidak berdasar.
Sudah jelas mekanisme pemberhentian Presiden diatur dalam UUD 1945 dan harus adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden sesuai Pasal 7A UUD 1945.
Dalam hal ini, kita sendiri tidak tahu apa pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden. RUU HIP juga tidak tahu siapa yang menginisiasi. Jadi, apa salah Presiden Jokowi?
Begitu juga pembakaran bendera partai karena dikaitkan dengan RUU HIP tidak tepat. Kalau mau menolak RUU HIP ya katakan dengan cara-cara yang baik dan beradab, tidak dengan anarkisme seperti itu.
Dengan kejadian itu, terlihat bahwa kedewasaan dalam berdemonstrasi belum terlihat dari kita bangsa Indonesia. Masih banyak mengandalkan emosi saja ketimbang nalar yang baik.