Mohon tunggu...
Jons Manedi
Jons Manedi Mohon Tunggu... Wiraswasta - SikolaLapau

Belajar, belajar dan belajar..... Karena ilmu itu bertebaran dimana kita berdiri....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Silek: Warisan yang Terlupakan

12 Desember 2014   23:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:25 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kebanyakan orang Minang pasti mengenal apa itu silek (silat), karena silek merupakan warisan budaya Minangkabau, silek merupakan esensi dari adat Minangkabau yang secara budaya bisa dikatakan budaya multikultur, karena di Minang orang bisa hidup rukun berdampingan dengan suku dan budaya yang berbeda, seperti Nias, Mandailing, Mentawai, Tiongha, Batak, Jawa, dan suku-suku lain yang datang ke Minang sejak dahulu nya.

Silek Minangkabau menurut Wikipedia adalah seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Minangkabau memiliki tabiat suka merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk merantau tentu saja mereka harus memiliki bekal yang cukup dalam menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di rantau, misalnya diserang atau dirampok orang. Di samping sebagai bekal untuk merantau, silek penting untuk pertahanan nagari terhadap ancaman dari luar.

Mengingat budaya orang Minang yang suka merantau tersebut, maka masyarakat Minang dituntut untuk bisa hidup dalam kehidupan yang multikultur, baik dikampung halaman sendiri maupun diperantauan, orang minang harus memiliki rasa percaya diri dan jati diri yang kuat. Hal itu bisa diperoleh dari silek baik yang dinamakan silek duduak (kemampuan berdiplomasi) yaitu kemampuan seorang minang yang mampu berkata arif bijaksana, mampu memutuskan hal-hal penting tanpa merugikan orang lain, bak ibarat pituah minang “mundur selangkah untuk maju seribu langkah” kemudian ada silek tagak (kemampuan membela harkat diri), seorang minang dahulunya dituntut untuk mampu membela diri, keluarga, sanak saudara serta kampung halamannya dari serangan orang-orang yang ingin menginjak-injak harkat dan martabat orang minang.

Namun hari ini kita sama-sama melihat budaya multikultur dan silek ini sudah mulai memudar ditengah-tengah masyarakat minang, budaya itu mulai tergerus oleh budaya luar minang yang tidak lagi sesuai dengan adat minang yang menjunjung tinggi syara’ (agama) sebagai pegangan hidup didunia menuju akhirat, sebagaimana yang tertuang dalam pituah “adat basandi syara’, syara’basandi kitabullah”. Hal ini disebabkan oleh generasi tua yang paham dengan budaya dan tradisi silek sudah tidak ada, atau boleh dikatakan sudah hampir punah, sedangkan generasi muda sebagai penerus estafet budaya dan tradisi tersebut sudah tidak mau lagi belajar, memahami dan mewarisinya, mereka beralasan bahwa budaya dan tradisi silek itu dianggap kuno, ketinggalan zaman dan tidak mendatangkan kesejahteraan (tidak komersial) jika dibandingkan dengan beladiri yang lain seperti Karate, Kempo, Wushu, Judo dan lain-lain, yang bisa dikomersilkan.

Melihat fenomena yang ada saat ini sudah seharusnya masyarakat minang melakukan revitalisasi (penguatan) kembali nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di minang salah satunya adalah silek. Seni budaya sesungguhnya mengandung banyak nilai-nilai kearifan lokal yang berkaitan dengan etos kerja, keramahan lingkungan dan silaturrahmi, kecerdasan sosial, serta kecerdasan spiritual.  Dalam silek kita harus memiliki kuda-kuda yang kuat, ini bertujuan agar lawan tidak mudah melumpuhkan kita, sebelum memulai permainan silek,kita juga dianjurkan untuk menyalami semua orang yang ada disasaran mulai dari yang muda sampai kepada yang tua, hal ini bermaksud sang pandeka (pendekar) harus bisa menghormati semua orang yang ada disekitarnya, seorang minang harus mampu menempatkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan dimana dia berada “dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang” (dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung).

Sudah saatnya pemerintah, khususnya Sumatera Barat memperhatikan persoalan budaya ini, karena berbagai fenomena sosial yang terjadi hari ini, seperti kemalasan, keserakahan, maksiat, judi, dan konflik horizontal sesama kaum merupakan gambaran dari masyarakat minang yang sudah tercabut akar budaya nenek moyang nya, dan tidak lagi belajar kepada alam, sehingga membuat orang minang kehilangan kearifan dan kebijaksanaannya dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Kalau tidak segera dilakukan perbaikan, orang minang akan kehilangan jati dirinya ditengah-tengah peradaban dunia yang semakin berkembang. Mari bersama kita berbenah, kita mulai dari diri kita sendiri, keluarga, masyarakat yang ada disekitar kita.

Kalau tidak kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.....??

== JsM ==

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun