Fenomena sosial, politik, dan moral bangsa kita sering kali tersaji dalam bentuk peristiwa yang tampak sederhana, namun sesungguhnya merefleksikan kerumitan yang lebih besar.Â
Tiga artikel yang saya baca, Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu karya F. Rahardi, Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal dari Editorial Tempo, dan Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati oleh Budiman Tanuredjo, menghadirkan gambaran nyata tentang wajah Indonesia hari ini.Â
Negeri ini masih dililit ketakutan semu, permainan kuasa, dan krisis keteladanan yang menggerogoti sendi kehidupan berbangsa.
Fobia yang Melumpuhkan
F. Rahardi dengan gaya khasnya mengajak kita merenungkan bagaimana ketakutan yang berlebihan terhadap ulat bulu justru mencerminkan kondisi bangsa yang gampang dihinggapi fobia.Â
Ia menulis bahwa fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita, terlebih bila terjadi secara massal dan berkepanjangan.
Pesannya jelas, masalah bangsa ini bukan sekadar soal alam, melainkan rusaknya moralitas dan kepemimpinan. Fobia menjadi metafora atas cara pandang kita yang kerap terjebak pada hal-hal remeh, sementara masalah besar justru diabaikan.Â
Masyarakat lebih takut pada ulat bulu yang sejatinya tidak berbahaya, daripada pada korupsi, manipulasi hukum, dan krisis kepemimpinan yang nyata-nyata merusak.
Sandiwara yang Melelahkan
Editorial Tempo menguliti lemahnya penanganan kasus pagar laut ilegal di Banten. Drama tarik ulur antarinstansi, saling lempar tanggung jawab, hingga dugaan keterlibatan taipan besar menggambarkan bagaimana hukum sering kali menjadi sandiwara.Â